ChanelMuslim.com- Lagi-lagi bangsa ini terperangah dengan apa yang disebut dengan bully. Meski masih dalam penyelidikan, apa yang terjadi di SMP negeri di Jakarta Timur beberapa waktu lalu cukup memprihatinkan.
Seorang siswi kelas 1 SMP dikabarkan melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya. Usai menjalani perawatan selama dua hari, siswi ini pun dikabarkan meninggal dunia.
Dugaan sementara, siswi tersebut mengalami tindakan bully atau semacam tindakan dari orang lain yang kurang menyenangkan yang dilakukan secara berulang. Seperti, mencela, mengganggu, dan tindakan fisik lain.
Pertanyaannya, kenapa mesti ada bully. Dari sisi nama, bully memang bukan berasal dari budaya kita. Tapi, jika ditelisik dari isinya, bully boleh jadi sudah menjadi hal biasa, bahkan di rumah kita sendiri. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, para orang tua sendirilah yang menjadi pelaku utamanya.
Bully dan budaya kita
Anak adalah objek yang paling rentan menjadi korban bully. Semakin lemah fisik dan mental anak, semakin rentan lagi perlakuan bully terhadapnya. Biasanya korban sebagai anak bungsu, ada kelainan fisik dan mental, kelainan kecerdasan, dan lainnya.
Sebagai sebuah tindakan yang berulang, bully tentu tidak dilakukan secara tidak disengaja. Ada pihak-pihak yang lebih kuat dari korban yang tidak suka keberadaannya. Dan pihak ini tak lain adalah orang terdekat korban. Yaitu, orang yang setiap saat bertemu, berinteraksi dengan korban.
Siapa mereka? Dari urutan tingkat interaksi, kemungkinan terbesar pelaku ada di rumah, sekolah, dan lingkungan rumah seperti para tetangga. Jadi, bully tidak dilakukan oleh orang jauh, tapi orang yang paling sering bertemu dengan korban.
Bully dan rumah kita
Dari semua pihak yang ada dalam keluarga dan paling rawan sebagai pelaku bully adalah ayah, ibu, kakak sulung, dan seterusnya. Parahnya lagi, bully yang dilakukan oleh yang lebih berkuasa dalam keluarga akan tertular di anggota keluarga lain.
Jadi, bully bukan sekadar tindakan buruk dari orang kuat kepada yang lemah dalam keluarga, tapi juga menjadi pembenaran, dalam sebutan lain “teladan”, untuk menjadi lazim dilakukan.
Bully dan budaya buruk apa pun dalam keluarga tidak akan membudaya jika orang tua tidak melakukannya. Dari sini, ayah ibu harus berkali-kali mengevaluasi diri tentang apa yang diucapkan, dilakukan secara rutin terhadap siapa pun di keluarga itu.
Korban bully hampir bisa dipastikan tidak muncul dari keluarga yang saling menghormati, menyayangi, membantu, terutama terhadap yang lebih lemah. Keteladanan orang tua menjadi sorotan dan patokan utama dari budaya keluarga.
Kalau pun akhirnya salah satu anggota keluarga ini menjadi korban bully di sekolah atau lingkungan lainnya, sang korban setidaknya memiliki benteng atau tempat ia mendapat perlindungan dan dukungan. Yaitu, keluarganya sendiri.
Jadi, korban tidak akan bernasib fatal. Tidak akan mengambil kesimpulan-kesimpulan tragis tentang arti hidup dirinya. “Pukulan” di luar rumah bisa diredam, diobati, dan distrelirkan di rumah.
Jangan salah paham dengan anak “minim”
Anak adalah anugerah paling mahal. Tidak bisa dinilai dengan harta apa pun. Ia menjadi aset abadi untuk ayah ibunya. Bukan sekadar di dunia, tapi juga untuk akhirat.
Segala kekurangan anak, seminim apa pun, tidak akan mengurangi nilai aset itu. Karena nilai aset itu bukan dari fisik, kecerdasan, dan lainnya; hanya butuh keikhlasan anak itu untuk menyampaikan doa untuk orang tuanya. Itulah nilai aset yang kerap dilupakan para orang tua.
Sebaliknya, kerja keras orang tua terhadap anak yang dianggap minim itu juga menjadi aset lain sebagai tambahan ibadah orang tua terhadap amanah Allah itu. Nilai ibadah orang tua terhadap anak yang “minim” itu bisa berlipat di banding dengan anak normal atau biasa.
Jadi, aset “minim” itu harus dianggap dan diposisikan keluarga sebagai aset paling mahal yang Allah berikan. Bukan sebaliknya. Jika ayah ibu memperlihatkan dan mencontohkan dalam keseharian keluarga dengan paradigma ini, tidak akan muncul yang disebut bully dalam keluarga.
Mulai saat ini juga, ayah ibu sekali lagi untuk mengoreksi apa yang telah dibudayakan dalam rumah kita. Mulai dari ucapan, tindakan, dan lainnya. Ajak anggota keluarga yang “lebih” untuk selalu sayang kepada yang “minim” atau kurang.
Sekali lagi, mulai dari diri kita. Berikan kesempatan yang kita sayangi itu untuk bisa berdiri dengan kemampuannya, dengan potensi tersembunyinya, dan dengan cinta semua di keluarga. (Mh)