oleh: Muhammad Akbar, S.Pd
(Penulis Buku, Aktivis Media Islam, Pimpinan Mujahid Dakwah Media, Pendiri Madani Institute dan Pembina Daar Al-Qalam)
ChanelMuslim.com – Sejarah telah mencatat perjalanan panjang perjuangan media dan pers Islam di Nusantara sampai Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Peran para aktivis media Islam dan jurnalis muslim sangatlah besar dalam kehidupan masyarakat bangsa dan Negara. Dalam catatan awal tahun Mujahid Dakwah ini, akan mengupas beberapa hal tentang media Islam dalam tinjauan sejarah dan fungsinya serta lahirnya puluhan bahakan ratusan media massa Islam dalam sejarah dan agenda kebangkitan media Islam.
Kebangkitan pers dan media Islam telah tercatat dalam sejarah Nusantara, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Pers Islam memiliki andil yang sangat besar dalam melakukan berbagai perlawanan terhadap berbagai bentuk kolonialisme dan penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan sekutunya.
Sejarah perjalanan pers dan media Islam dalam analisa kami, telah melalui beberapa fase. Fase pertama adalah fase Nusantara sebelum kemerdekaan Indonesia dari tahun 1900-an sampai 1945. Fase kedua adalah fase kemerdekaan di Orde Lama dan Orde Baru sekitar tahun 1945-1998. Dan fase ketiga adalah fase reformasi yang dimulai tahun 1998-sekarang.
Perjuangan ummat Islam di Indonesia melalui media massa tampaknya telah berurat dan berakar, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Jika kita bercermin melalui sejarah, akan terlihat media massa Islam menjadi roda-roda penggerak dalam perjuangan Islam, menjadi minyak sebagai pembakar perjuangan umat Islam bahkan menyelami nasib umat yang terpuruk di negeri ini.
Pada fase awal sekitar tahun 1906 berdiri Al-Imam sebagai majalah Islam pertama di Asia Tenggara. Ia diterbitkan di Singapura pada Jumadil Akhir 1324 H / Juli 1906 M dan berakhir pada permulaan 1909. Majalah yang menggunakan aksara Arab-Melayu atau Jawi dan diterbitkan Melayu ini dirilis di Mathba’ah (Drukkery) Melayu Tanjung Pagar, Singapura.
Michael Laffan, dalam bukunya Kebangsaan Islam dan Indonesia Kolonial, Umma Below the Winds (2002), mencatat kehadiran tokoh kunci di balik lahirnya majalah ini. Di antara nama-namanya adalah Sayyid Ahmad Al-Hadi, yang merupakan anak angkat dari Raja Ali Kelana bin Raja Ahmad Riau, dan Syekh Muhammad Taher bin Muhammad Jalaluddin Al-Azhari, seorang ulama muda Minangkabau yang merupakan sepupu dari ulama Syaikh Ahmad Khatib Al- Minangkabawi (1860 – 1916). Pada tahun 1890, pindah dari Riau ke Lingga ke Kairo, Mesir, untuk tugas belajar dan Haji Abbas bin Muhammad Taha (Aceh). Selain Al-Hadi dan Syekh Taher, nama lain yang juga menonjol dalam majalah Al-Imam adalah Sayyid Muhammad bin Aqil bin Yahya dan Syekh Muhammad Salim Al-Kalali.
Begitu menjamurnya surat kabar pada masa itu seperti Vendunieuws (1744), Bataviasche Coloniale Courant (1801), Bintang Hindia dan lainnya. Namun sangat disayangkan karena tak satupun dari mereka menyuarakan nasib dan aspirasi umat Islam. Berbagai latar belakang membuat para Ulama ini merintis Al Imam menjadi media massa Islam pertama di tanah Melayu-Nusantara.
Berbagai latar belakang lahirnya Al Imam adalah keterpurukan, kehancuran dan kerusakan kondisi masyarakat dan umat di bawah penjajahan Belanda, Inggris dan sekutunya, berbagai cekaman, penindasan, kekerasan, kemiskinan dialami oleh masyarakat serta tidak adanya wadah untuk menyampaikan aspirasi ummat dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi mungkar. Dan yang paling penting adalah agar umat Islam dapat meraih kemerdekaanmya.
Sejak awal, Al Imam memang bersuara menyatakan penyesalannya akan nasib umat Islam di tanah Melayu-Nusantara yang terjajah di mana-mana. Dalam sebuah edisinya, mereka menyebut “Tanah Sumatera, Tanah Manado, Tanah Jawa, Tanah Borneo dalam genggaman Belanda, hingga tanah melayu peninsula dalam cengkeraman Inggris.” (Al Imam Vol. 1, No. 3, 19 September 1906). Harapan mereka tak lain agar umat Islam mampu meraih kemerdekaannya.
Al Imam berdiri mengibarkan Islam sebagai dasarnya. Menyebarkan dakwah Islam. Mengikuti jejak jejak Al Manar yang dipimpin oleh Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dengan semangat pembaruan dan pemurnian Islam, Al Imam menegaskan haluannya dalam sebuah edisinya, “Untuk mengingatkan mereka yang terlupa, membangunkan mereka yang terlelap, menunjukkan arah yang benar kepada mereka yang tersesat, memberi suara kepada mereka yang berbicara dengan bijak, mengajak umat Islam berupaya sebisa mungkin untuk hidup menurut perintah Allah, serta mencapai kebahagiaan terbesar di dunia dan memperoleh kenikmatan Tuhan di Akhirat.” (Al Imam, I Juli 1906).
Pada fase awal ini, dalam rentang tahun 1906 sebagai awal lahirnya media massa Islam pertama di Nusantara, juga bertaburan media-media massa Islam di tahun-tahun berikutnya, sebut saja Al Munir di Padang Panjang.
Tahun 1911, Al Munir didirikan di Sumatera Barat oleh Haji Abdullah Ahmad yang sebelumnya juga perwakilan Al Imam di Padang Panjang. Serta dibantu oleh Haji Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka) dan Syekh Jamil Jambek. Mereka semua adalah murid langsung dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi.
Al Munir sangat bersuara keras terhadap berbagai praktek bid’ah, menyuarakan kritik-kritik keras terhadap pemerintah kolonial Belanda, menyuarakan persatuan umat Islam dan kemerdekaan bangsa. Dan penyebaran Al Munir tersebar di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Malaya.
“Al Munir bertujuan untuk memperoleh agama Islam yang sejati serta menegakkan syariat Nabi Muhammad yang benar dengan dorongan menghidupkan kembali tradisi Nabi dan mengutuk bid’ah dalam praktik ibadah umat Muslim.” (Al Munir 3, 2, 1913).
Perjalanan sejarah media massa dan pers Islam terus berkembang baik secara kualitas dan kuantitas utamanya di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Namun, tentu tulisan yang singkat ini kami tidak bisa menyebutkannya secara rinci.
Di Sumatera pada waktu itu sebagai pusat dan lumbungnya media massa Islam seperti Majalah Suluh Melayu di Padang (1913), Majalah Al-Radd wa Al-Mardud di bukittinggi (1926), Majalah Suara Tarbiyah Islamiyah di bukittinggi (1937-1945), Al Itqan dan Al-Mizan (1918) di Minanjau dan banyak lagi yang lainnya.
Pada tahun 1929, tokoh Persis, Ustaz A. Hassan bersama Fachrudin Al Kahiri dan Muh. Natsir mendirikan Majalah Pembela Islam. Pembela Islam menjadi media massa Islam yang gigih membela Islam. Pembela Islam menjadi salah satu lawan dari tokoh-tokoh Nasionalis sekuler yang menggelorakan ide sekularisme (contohnya, polemik antara Sukarno dan M. Natsir mengenai Islam melawan sekularisme).
Kritik-kritik keras pembela Islam terhadap praktik kristenisasi dan pelecehan oleh missionaris. Seperti misalnya tulisan Muh. Natsir yang berjudul Zending Contra Islam (1931). Pembela Islam juga menyerang paham sesat Ahmadiyah Qadian, dengan menurunkan tulisan perdebatan langsung antara A. Hassan dengan Rahmat Ali dari Ahmadiyah di tahun 1933 dan 1934.
Semangat Majalah Pembela Islam untuk mengajak masyarakat kembali kepada Alquran dan Sunnah sangat besar, serta menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sangat tegas terhadap berbagai aliran sesat, perbuatan bid’ah dan paham-paham sekularisme. Kekuatan idealisme Pembela Islam mampu memberikan pengaruh yang sangat besar dan mendapatkan berbagai apresiasi dari para pembacanya, tokoh dan ulama di Nusantara.
Buya Hamka yang menjadi salah satu pembaca Pembela Islam yang juga Pendiri Pedoman Masyarakat mengatakan,
“Mulai saja majalah itu dibaca, timbullah dalam jiwa semangat yang terpendam yaitu semangat hendak turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya menggugah perasaan hati untuk bangun, bergerak, berjuang hidup dan mati dalam Islam.”
“Artikel-artikel dari M. Natsir di dalam majalah Pembela Islam itu sangat menarik hati saya. Saya pun seorang pengarang. Tetapi saya mengakui bahwa karangan Natsir memberi saya bahan untuk hidup, sehingga saking tertariknya saya kepada tulisan-tulisannya itu…” (Dikutip dari Panitya Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 tahun. 1978. M. Natsir 70 tahun Kenang-kenangan Kehidupan & Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara).
Buya Hamka sendiri sangat aktif dalam perjuangan dan pergerakan di media massa Islam. Pada tahun 1935, Buya Hamka dan Yunan Nasution mendirikan Pedoman Masyarakat di Medan Sumatera Barat. Pedoman Masyarakat memasang motto ‘Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam’.
Pedoman Masyarakat menjadi salah satu media massa Islam yang besar di zaman itu. Berhasil mencapai dan mencetak sebanyak 4.000 eksemplar. Melalui Pedoman Masyarakat ini pula Buya Hamka melahirkan karya-karyanya yang banyak dan fenomenal. Namun pada masa awal pemerintahan Jepang, banyak sekali media massa yang menemukan ajalnya termasuk Pedoman Masyarakat. Akan tetapi, hal ini tidak membuat Buya Hamka berhenti dalam perjuangan media Islam. Pada tahun 1942-1945 mendirikan Semangat Islam bersama beberapa kawannya.
Perjalanan panjang media massa Islam terus berlanjut pada fase kedua, yakni fase kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan sejarah, telah terbukti bahwa media massa Islam menjadi penyuara aspirasi yang dihadapi oleh umat, baik dari segi keagamaan, social, ekonomi dan politik.
Pascakemerdekaan, berbagai media massa Islam muncul di antaranya Harian Abadi. Harian Abadi menjadi corong pergerakan dari Partai Masyumi yang menjadi pengawal terhadap pemerintahan Soekarno waktu itu. Menjadi media massa yang kritis terhadap pemerintahan dalam menyuarakan aspirasi umat. Namun, akhirnya Harian Abadi tutup tahun 1970. Begitupun dengan lahirnya kembali media massa Islam di bawah pimpinan Buya Hamka yakni Panji Masyarakat dan Harian Duta Masyarakat yang menjadi suara Nahdhatul Ulama.
Bukankah sejarah panjang perjalanan media massa Islam ini begitu banyak pelajaran yang bisa dipetik oleh para aktivis media Islam hari ini. Kebangkitan, kemunduran dan kejatuhan media massa Islam telah tercatat dalam sejarah. Media Islam bukan sekadar berenang-renang di tepian, tetapi ia langsung terjun ke dalam pusaran perjuangan di negeri ini.
Sejarah ini bagi para aktivis media Islam adalah bagaikan sebongkah mutiara yang ia dapatkan dan sebagai api yang membara dan membakar semangat perjuangan dalam dirinya. Membuat ia terus bergerak, menebarkan cahaya Islam ke seluruh sendi kehidupan negeri ini.
Menarik sebuah pertanyaan yang mengatakan, mengapa harus ada media Islam?
Maka jawabannya ada dalam sejarah negeri ini, bahwa media Islam lahir untuk memperjuangkan aspirasi dan suara umat, kezaliman, kemungkaran dan kebatilan yang merajalela, menjadi penyuara kebenaran (amar ma’ruf dan nahi mungkar), mempersatukan umat dan menjaga ukhuwah Islamiyah, membela kepentingan masyarakat, membangkitkan semangat perjuangan, hidup dan mati dalam Islam serta Ia menyatu dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat.
Di tengah pergolakan dan problematika yang dihadapi umat saat ini, maka penguasaan media massa menjadi salah satu hal yang turut menentukan perjuangan umat Islam. Melalui media massa, peperangan pemikiran yang sengit, penyebaran ilmu serta penguasaan opini di masyarakat dapat dikuasai.
Oleh sebab itu, kebangkitan media Islam sangat dinanti oleh umat dan masyarakat hari ini. Di tengah krisisnya penyebaran informasi, maka media Islam dengan konsepnya yang sesuai tuntunan syariat diharapkan dapat menjadi cahaya di tengah krisisnya informasi hari ini.
Kebangkitan media Islam juga diharapkan melahirkan jurnalis muslim yang handal dan profesional, sebab sejarah telah mencatat lahirnya karya para ulama hadir di tengah pergolakan media massa Islam yang banyak kala itu. Sebab, hari ini umat juga menghadapi masalah yakni krisis literasi di kalangan para aktivis dan penggeraknya. Minimnya budaya baca dan tulis menjadi salah satu faktor kemunduran umat Islam hari ini.
Padahal, dalam catatan sejarah peradaban Islam. Para ulama telah menoreh tinta emasnya dengan ratusan sampai ribuan karyanya. Seorang ulama salaf Ibnu Jauzi yang telah menulis ribuan jilid kitab sebagaimana pengakuan cucu Imam Ibnu Jauzi yang bercerita, “Menjelang akhir hayatnya, saya pernah mendengar kakek berkata di atas mimbar, “Jari-jari tanganku ini telah menghasilkan dua ribu jilid kitab. Selama hidupku, ada seratus ribu orang yang menyatakan diri tobat di hadapanku dan dua puluh ribu Yahudi dan Nasrani yang menyatakan diri masuk Islam di hadapanku.”
Seorang ulama dan jurnalis Muslim sangat dinantikan umat hari ini dengan karya-karya mereka. Bacalah perkataan Imam al-Hasan al-Bashri: “Ditimbang tinta pena ulama dengan darah para syuhada, maka akan lebih berat tinta para ulama atas darah para syuhada.” (Al-Ihya (1/18).
Kebangkitan media Islam akan sejalan dengan lahirnya para ‘alim ulama dan Jurnalis Muslim, dalam sejarah media massa Islam di Nusantara dan Indonesia setiap media Islam lahir dari tangan para ulama dengan semangat amar ma’ruf dan nahi mungkar serta jihad fisabilillah.
Oleh sebab itu, melalui cacatan awal tahun Mujahid Dakwah ini. Kami meluncurkan berbagai program dalam melahirkan para pejuang dan aktivis media Islam. Program ini bernama Daar Al-Qalam dengan visinya Jurnalis Muslim Bangkitkan Peradaban Islam. Serta meluncurkan Catatan Mujahid Dakwah yang terbit setiap pekan dengan pembahasan Jurnalisme, aktivitas media serta agenda kebangkitan peradaban Islam. Olehnya itu, sudah saatnya media Islam bangkit mengikuti jejak sejarahnya dan menoreh karya-karyanya.[ind]