Chanelmuslim.com – Aku keluar rumah sebagaimana biasa, menjalankan shalat berjamaah bersama kaum muslimin yang lain, dan berkeliling pasar. Namun, tak seorang pun yang mengajak aku bicara. Aku menemui Rasulullah. Aku mengucapkan salam pada beliau saat beliau berada dalam majelisnya selepas shalat. Aku bertanya kepada diri sendiri (dalam hati), “Apakah beliau akan menggerakkan bibir untuk menjawab salamku atau tidak ?” kemudian aku shalat di dekat beliau, lalu mencuri pandangan kepada beliau. Saat aku sedang fokus pada shalatku, beliau memalingkan wajahnya dariku.
Saat keadaan ini telah berlangsung lama di mana kaum Muslimin bersikap dingin kepadaku, aku berjalan dan menaiki pagar dinding Abu Qatadah. Dia adalah putra pamanku dan orang yang paling aku kasihi. Aku mengucapkan salam padanya, dan demi-Allah-dia juga tidak menjawab salamku. Aku berkata, “Wahai Abu Qatadah, demi Allah, tahukah kamu bahwa aku mencintai Allah dan Rasulullah.”
Dia tetap diam.
Aku kembali bertanya, dia tetap diam.
Aku bertanya lagi, lalu dia berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang kebih tahu.”
Air mataku tak terbendung. Aku tinggalkan Abu Qatadah dengan menaiki pagar rumahnya.
Suatu saat, tatkala aku tengah berjalan di pasar Madinah, di sana ada salah seorang petani dari negeri Syam. Ia membawa bahan makanan dan menjualnya di Madinah. Petani itu berkata, “siapakah yang bisa menunjukkan padaku seorang yang bernama Ka’ab bin Malik.
Orang-orang segera bergegas memberikan menunjukkan tempat di mana Ka’ab berada. Saat menemuiku, petani itu menyodorkan kepadaku sebuah surat dari Raja Ghissan. Di dalamnya tertulis.
Amma ba’du: telah sampai padaku suatu kabar, bahwa sahabatku (Muhammad) telah menjauhimu. Sementara Allah tidak menjadikanmu dalam rumah kehinaan, dan kamu kehilangan hak-hakmu. (Karena itu) datanglah pada kami, niscaya kami akan berbagi denganmu apa yang menjadi milik kamu.
Aku pun menuju dapur api dan membakar surat itu. Setelah lewat empat puluh malam dari lima puluh hari yang diterapkan, datanglah utusan Rasulullah padaku, dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahmu untuk mejauhi istrimu.”
Aku berkata, “Haruskah aku menceraikannya atau apa?”
“Tidak, tetapi jauhi dia dan jangan mendekatinya!”
Aku berkata kepada istriku, “Tentu keluargamu. Beradalah di sana sampai Allah memutuskan masalah ini!”
Datanglah istri Hilal bin Umayyah, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, Hilal bin Umayyah adalah lelaki tua yang lemah, tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau keberatan masalah ini!”
Rasulullah bersabda, “Aku tidak keberatan, tetapi janganlah sampai ia mendekatimu!”
Istri Hilal berkata, “Demi Allah, dia sama sekali tidak mampu bergerak. Demi Allah, ia terus menangis sejak masalah ini muncul hingga kini.”
Ka’ab berkata, “Sebagian anggota keluargaku berkata, ‘Rasulullah semestinya memberi istrimu izin sebagaimana beliau mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.”
Aku (Ka’ab) berkata, “Demi Allah, aku tidak akan meminta izin kepada Rasulullah. Aku tidak tahu apa yang bakal dikatakan beliau jika aku melakukannya, padahal aku adalah lelaki muda (yang masih kuat).”
Setelah itu, aku menempuh sepuluh malam berikutnya, hingga menjadi genap lima puluh malam sejak Rasulullah melarang kaum Muslimin berbicara denganku. Aku melaksankan shalat subuh pada malam yang kelima puluh, di atas atap rumah kami. Aku duduk dalam keadaan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Jiwaku terasa sempit, dan bumi yang luas ini terasa sempit bagiku. Saat itulah aku mendengar suara nyaring yang berasal dari atas gunung Sal’in. Suara itu memanggilku, “Wahai Ka’ab bin Malik, Berbahagialah!”
Mendengar suara itu, aku pun jatuh tersungkur dalam keadaan bersujud. Aku tahu, telah datang pertolongan dari Allah. Saat shalat shubuh, Rasulullah mengumumkan , bahwa Allah telah menerima taubat kami. Maka orang-orang pun berdatangan kepada kami dengan membawa berita gembira. Mereka juga menemui dua sahabat kami dengan membawa berita gembira itu.
Seorang lelaki memacu seekor kuda ke arahku. Seseorang dari kalangan Aslam berlari dan menaiki puncak bukit. Kecepatan suara melebihi kecepatan kuda. Tatkala orang yang aku dengar suaranya itu datang padaku, maka aku lepaslah dua bajuku dan aku pakaikan padanya (sebagai ungkapan terima kasihku) atas kabar gembira yang disampaikannya. Demi Allah, (kala itu) aku tidak mempunyai baju lainnya selain kedua baju itu. Kemudian ia meminjam dua baju, lalu aku meminjam dua baju, lalu aku memakainya. Aku pun pergi mengahadap Rasulullah.
Orang-orang menghampiriku kelompok perkelompok. Mereka mengucapkan selamat karena taubatku diterima Allah. “Selamat, taubatmu diterima Allah.”
Ka’ab berkata, “Aku memasuki masjid, dan ternyata Rasulullah sedang duduk dikelilingi orang-orang. Thalhah bin Ubaidillah berdiri, berlari kecil ke arahku, kemudian menjabat tanganku sembari mengucapkan selamat Demi Allah, selain Thalhah, tidak seorang lelaki pun dari kaum Muhajirin yang berdiri menyambutku. Dan aku tidak akan melupakan apa yang dilakukan Thalhah itu. Saat aku mengucapkan salam kepada Rasulullah dengan wajah gembira beliau bersabda, “Berbahagialah dengan datangnya hari terbaik dalam hidupmu semenjak kamu dilahirkan ibumu!”
Ka’ab berkata, “Aku berkata, “Apakah kabar gembira itu datang dari engkau, wahai Rasulullah , ataukah dari sisi Allah?”
Beliau menjawab, “Bukan dariku, tetapi dari Allah.” Jika Rasulullah sedang gembira, maka wajahnya menjadi cemerlang bak rembulan yang bersinar. Kami mengetahui itu dari beliau.
Saat aku telah duduk di hadapan beliau, aku berkata, “wahai Rasulullah, salah satu tanda bukti taubatnya, aku akan melepaskan seluruh hartaku untuk dishadaqahkan di jalan Allah dan Rasul-Nya.”
Beliau menjawab, “Simpanlah sebagian hartamu, itu lebih baik bagimu.”
Aku berkata, “Aku menyisakan bagian hartaku di tanah Khaibar.” Aku (kembali) berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku karena sifat jujur (shidiq), dan salah satu bentuk taubatku adalah aku (berjanji) tidak akan berkata selain yang jujur selama masih hidup.”
Demi Allah, aku tidak melihat seorang pun di antara kaum Muslimin yang diuji Allah tentang kejujurang kata-sejak aku mengucapkan janjiku itu kepada Rasulullah sampai sekarang-seperti apa yang diujikan kepadaku. Sejak saat itu hingga sekarang, demi Allah, aku tidak pernah bersengaja mengucapkan kebohongan. Aku memohon agar Allah senantiasa menjagaku sepanjang hidupku. Karena itu, Allah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya: “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajrin dan Orang-orang Anshar…” (At-Taubah:119) Demi Allah, semenjak aku masuk Islam, tiada nikmat Allah yang lebih agung bagi diriku selain nikmat-Nya berupa kejujuranku kepada Rasullulah, yaitu agar aku tidak berbuat dusta padanya, yang mana dusta itu bisa menyebabkanku celaka sebagimana telah celaka pula para pendusta. Kepada orang-orang berdusta tatkala diturunkannya wahyu, Allah menyapaikan ancaman yang buruk. Allah berfirman: “Mereka bersumpah kepadamu dengan nama Allah ketika kamu kembali kepada mereka” (At-Taubah:95)sampai ayat “Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah:96)
Ka’ab berkata, “Ketertinggalan kami bertiga itu lebih disebabkan karena kami tidak ikut serta dalam kelompok yang diterima Rasulullah saat mereka bersumpah setia di hadapan beliau, lalu beliau membuat mereka, dan memohonkan ampunan untuk mereka. Berliau menyerahkan urusan kami bertiga kepada Allah. Oleh karena itu, Allah berfirman: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan…” (At-Taubah:118) Ayat ini turun bukan karena kami tidak ikut serta dalam perang Tabuk, tetapi lebih karena Rasulullah tidak memasukkan kami dalam kelompok orang-orang yang bersumpah dan meminta maaf kepada beliau. (Tamat)
(Sumber: Golden Stories Kisah-Kisah Indah Dalam Sejarah Islam, Mahmud Musthafa Sa’ad & Dr. Nashir Abu Amir Al-Humaidi, Pustaka Al-Kautsar)