ChanelMuslim.com- Rancangan Undang-undang Penghapusan Seksual (RUU PKs) masih diperdebatkan hingga kini. Komnas Perempuan bahkan mendesak DPR untuk mensahkan RUU ini. Menurut Ketua Komnas Perempuan harus disahkan secepatnya, karena masyarakat membutuhkan.
"Tapi yang jauh lebih penting masyarakat, koalisi masyarakat sipil, memberi tekanan bahwa ini kebutuhan mereka, kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan Komnas Perempuan. Tentu juga pemerintah, kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak ini juga kebutuhan masyarakat perempuan untuk tidak mengalami kekerasan seksual," katanya.
Mariana pun mencontohkan kasus yang dihadapi Baiq Nuril. Dari kasus itu dia berharap tidak ada lagi korban selanjutnya.
Benarkah RUU PKS layak disahkan?
Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Rita Soebagio mengatakan RUU PKS yang disedang diusahakan oleh Komnas Perempuan sebetulnya RUU itu belum layak untuk disetujui, karena banyak kekurangan.
Melalui AILA, kata dia, sudah memberikan masukan ke Komnas Perempuan anak mengenai RUU itu. Menurutnya terdapat sejumlah ketidakcocokan dan ketidakjelasan makan maupun tujuan dari sejumlah pasal yang ada di dalamnya.
"AILA juga telah melakukan review terhadap RUU P-ks yang beredar di DPR. Review dan kami kritisi sebagai bentuk kepedulian dan bukan kontra produktif dari perlindungan terhadap perempuan dan anak," katanya dalam diskusi rancangan UU (23/7/2019).
“Salah satunya judul RUU Kekerasan Seksual diganti menjadi RUU Kejahatan Seksual agar selaras dengan KUHP dan RUU KUHP, karena delik kejahatan seksual sudah menjadi delik yang dikenal dalam konsep hukum pidana Indonesia, sedangkan kekerasan seksual tidak ada," tambahnya.
Jika delik kekerasan seksual dipakai maka akan menimbulkan berbagai kerancuan pada tataran dan konsep dan pelaksanaan hukum.
"Berbeda, jika diganti dengan RUU Kejahatan Seksual," kata perempuan berjilbab ini.
Maka, kata Rita, bila ini tetap diusahakan maka ini menjadi RUU yang tak layak disahkan oleh DPR.
Menurut Rita, alasan Komnas Perempuan bahwa tujuan RUU PKS karena banyak kasus perkosaan terjadi, bukanlah suatu urgensi untuk segera disahkan.
“Sebenarnya sudah banyak undang-undang yang dapat mengcover permasalahan dari kasus-kasus perkosaan, yang jadi masalah bukanlah produk hukum melainkan penegakan hukumnya,” tambahnya.
Kerancuan di Draft RUU PKS
Selain masalah dari judul dan tema kekerasan seksual yang rancu dalam segi hukum di Indonesia, dalam pasal 11 Draft RUU PKS disebutkan kekerasan seksual yang dimaksud seperti pemaksaan kontrasepsi,pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran dan penyiksaan seksual terdapat juga kerancuan.
Pemaksaan Aborsi misalnya, pada prinsipnya adalah aborsi dilarang dan merupakan tindakan kejahatan, karena melakukan pembunuhan pada janin.
Neng, mencontohkan bila seorang orangtua mempunyai anak gadis dan hamil di luar nikah. Bila orangtua ini memaksakan pernikahan pada anaknya belum cukup umur untuk menikah bisa dipenjara.
“Apalagi, beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi telah meningkatkan anak perempuan menikah minimal 19 tahun,” katanya.
Dalam RUU PKS, bab XIII, Pasal104, kata Neng, ada kerancuan.
“Ada dua dasar hukum yang dipakai, pertama Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan pidananya dijatuhi dengan RUU PKS ini,” tambahnya.
“Pertama, di dalam hukum pidana tidak ada tindak pidana memaksakan pernikahan oleh orangtua. Berbeda dengan RUU PKS menindak orangtua bila anaknya melaporkan,” katanya.
Bukan saja orangtua yang dihukum termasuk pelaku baik itu pejabat, tokoh yang ikut memaksakan pernikahan.
“Itu ada di pasal 105 RUU PKS,” tambahnya.
Menurut Neng Zubaidah, di dalam hukum patrilineal tidak ada paksaan,dalam pernikahan.
“Hukum Patrilineal dan Hukum Pidana kita itu sinkron. Bila tidak ingin menikah, ya tidak apa-apa. Jadi tidak ada itu pemaksaan dalam pernikahan,” katanya
Kerancuan kedua, adalah dalam pemaksaan aborsi. Menurut Neng, Aborsi itu sudah kejahatan dan dilarang berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."
Pasal 194 UU Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya.
Selain itu, sanksi pidana bagi pelaku aborsi ilegal juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (Pasal 347).
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. (Pasal 348).
Selain pemaksaan aborsi, kata Neng, juga pemaksaan pelacuran, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual dalam pasal 11 RUU PKS juga mengandung kerancuan.
“RUU PKS berpotensi over kriminalisasi masyarakat, karena norma-norma mengenai kategori di atas tidak memiliki dasar kebutuhan dalam masyarakat Indonesia,” katanya. (Mh/Ilham)