ChanelMuslim.com – Ketika ketulusan seorang ulama diuji. Menemukan ulama yang cinta akan ilmu karena Allah Taala sangatlah sulit di zaman sekarang ini, apalagi ketika dirinya diuji dengan kelulusan menyebarkan Ilmu yang hanya dihadiri oleh satu orang.
Kali ini, kisah nyata ketika seorang ulama diuji ketulusannya datang dari Syaikh Muhammad Sidy Muhammad As-Syinqity -hafidzahullah- (salah satu pengajar di masjid nabawi).
Beliau tetap mengajar sekalipun yang hadir di majelisnya hanya satu orang.
Baca Juga: Seorang Ulama dari Suriah Bercerita
Ketika Ketulusan Seorang Ulama Diuji
Di sini ketulusan itu diuji…
Pelajaran berharga bagi para pengemban dakwah untuk tidak pilih-pilih majelis.
Ada atau tidaknya orang yang datang ke majelismu jangan sampai menyulutkan semangat dan tekadmu untuk terus berkhidmat pada ummat, meski dalam sunyi sekalipun.
Karena keberkahan sebuah majelis tidak dilihat dari banyaknya orang yang hadir, namun berapa generasi unggul yang lahir dari kesunyian itu.
Ingat…. Pada hari kiamat nanti akan ada nabi yang dibangkitkan sendiri tanpa seorang pengikut.
Kisah ini diceritakan oleh Aan Chandra Thalib, Mahasiswa Fakultas Syariah Semester 8 Universitas Islam Madinah dalm fanpage Komunitas Mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Madinah “Kota Nabi”.
Sementara itu, Rasulullah bersabda, “Apalah artinya dunia ini bagiku?! Apa halnya urusanku dengan dunia ini?!
Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan dunia ini ialah seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya. (H.R. Ahmad I/391, 441, at-Tirmidzi no. 2377, Ibnu Majah no. 4109, dan al-Hakim IV/310, hadits dari Abdullah bin Mas’ud, lihat ash-Shahiihah no. 438)
Ali bin Abi Thalib juga berkata, “Wahai dunia, wahai dunia ! Apakah kau ingin memamerkan diri padaku atau membuatku menginginkanmu?
Tidak mungkin, tidaklah mungkin. Silakan kau perdaya diriku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu dan tanpa adanya rujuk lagi.
Umurmu singkat, & kehidupanmu hina dan bahayamu pun besar. Oh minimnya bekal, jauhnya perjalanan, dan sepinya jalan.” (Shifatus Shafwah I/118).[ind]