PEMBANGUNAN ramah keluarga adalah fondasi Indonesia Emas 2045, hal itu menjadi fokus pembahasan dalam dialog “Potret Keluarga Indonesia di Tengah Arus Perubahan”, Sabtu (15/11/2025) secara daring.
Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, pakar Ketahanan Keluarga dan Guru Besar IPB University, menegaskan bahwa pembangunan nasional tidak akan berkelanjutan bila keluarga tidak ditempatkan sebagai pusat pembangunan.
“Keluarga adalah fondasi kemuliaan manusia dan peradaban bangsa. Jika keluarga rapuh, maka dampaknya merembet ke seluruh aspek pembangunan,” tegas Prof. Euis, yang lebih dari 20 tahun meneliti dinamika ketahanan keluarga di Indonesia.
Baca juga: Pembangunan Ramah Keluarga, Solusi Sistemik untuk Tantangan Megatrend
Keluarga dalam Peta Indonesia Emas 2045
Prof. Euis memaparkan bahwa agenda besar Indonesia Emas 2045 akan sulit tercapai bila kualitas keluarga diabaikan. Lima sasaran utama—mulai dari peningkatan pendapatan per kapita hingga daya saing SDM dan penurunan emisi karbon—semuanya bergantung pada kualitas manusia yang lahir dari keluarga yang sehat, kuat, dan berfungsi optimal.
“Jangan sampai kita berbicara tentang Indonesia Emas, tetapi lupa bahwa emas itu ditempa dari keluarga,” ujarnya dalam sesi pemaparan.
Delapan misi pembangunan dan tujuh belas arah pembangunan yang disusun pemerintah, menurutnya, harus memastikan bahwa setiap kebijakan memberi dampak langsung terhadap kesejahteraan dan ketahanan keluarga.
Syarat Pembangunan yang Ramah Keluarga
Prof. Euis merinci enam syarat keharusan dan kecukupan pembangunan keluarga:
1. Holistik dan Komprehensif
Pembangunan tidak boleh melihat keluarga hanya dari satu sisi.
“Masalah keluarga itu multidimensi. Karena itu, solusinya pun harus multidimensi,” tegasnya.
2. Terpadu dan Terintegrasi
Program antar-lembaga tidak boleh berjalan sendiri-sendiri.
“Sektor pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi—semuanya harus bicara dalam satu meja,” kata Prof. Euis.
3. Berkecepatan Tinggi dan Inovatif
Keluarga menghadapi perubahan sosial yang cepat, sehingga kebijakan tidak boleh lambat.
“Kita butuh terobosan, bukan rutinitas. Keluarga perlu dukungan yang relevan dengan zaman,” ungkapnya.
4. Sinergi Multipihak
Pemerintah tak dapat bekerja sendiri.
“Keluarga adalah urusan bersama. Negara, masyarakat, akademisi, hingga dunia usaha punya peran,” tutur Prof. Euis.
5. Berkelanjutan
Program penguatan keluarga harus terus-menerus, bukan seremonial.
“Pendidikan orang tua itu bukan sekali belajar, tapi sepanjang hayat,” tambahnya.
6. Berbasis Pemberdayaan dan Perlindungan Keluarga
Fokus pembangunan harus mencakup:
* peningkatan kapasitas dan kemandirian,
* perluasan akses dan kesempatan hidup,
* penanganan akar kerentanan,
* dan perlindungan keluarga dari ancaman serta risiko sosial.
“Keluarga yang mandiri akan lebih tahan menghadapi krisis. Sebaliknya, keluarga yang rentan akan mudah tumbang oleh masalah kecil,” jelasnya.

Tantangan Serius: Krisis Kesehatan Mental Remaja
Prof. Euis juga menyoroti meningkatnya persoalan kesehatan mental remaja di Indonesia. Data yang ia tampilkan sangat mengkhawatirkan:
* 34,9% remaja mengalami masalah kesehatan mental
* 61% remaja depresi pernah memiliki pikiran bunuh diri dalam satu bulan terakhir
* Hanya 10,4% yang mencari pertolongan
* Kurang dari 3% yang mengakses konseling profesional
“Ini bukan sekadar angka. Ini alarm keras bahwa keluarga kita sedang terluka,” katanya tegas.
Ia menambahkan bahwa penyebab utama adalah bullying, relasi buruk, penyalahgunaan zat, dan pengalaman masa kecil yang merugikan. Hambatan terbesar adalah stigma dan keterbatasan akses layanan.
“Keluarga harus mampu menjadi tempat paling aman bagi anak. Jika tidak, anak akan mencari pelarian yang berbahaya,” ujar Prof. Euis.
Baca juga: Prof. Euis: Kebijakan Pembangunan yang Ramah Keluarga Sangat Penting
Arah Baru Pembangunan: Menempatkan Keluarga sebagai Poros
Sebagai penutup, Prof. Euis mengajak seluruh pemangku kepentingan agar menjadikan keluarga sebagai pusat desain pembangunan nasional.
“Kalau kita ingin Indonesia kuat, mulailah dari penguatan keluarga. Tidak ada pembangunan yang kokoh jika fondasinya rapuh,” pungkasnya.
Pendidikan harus mendukung pengasuhan yang efektif, program ekonomi harus menstabilkan kehidupan keluarga, dan intervensi sosial harus menurunkan risiko kerentanan. Dengan demikian, cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 dapat dicapai melalui masyarakat yang sehat, berdaya, dan berketahanan—dimulai dari keluarga.[ind]





