SENIN lalu (13/10) menjadi momen besar perdamaian Gaza dan Palestina. Namun, inilah timbangan miris antara takaran ideal dan realita yang ada.
Trump sepertinya sukses menginisiasi perjanjian damai antara Palestina dan Israel. Lebih dari dua puluh negara juga ikut menyaksikan kesepakatan damai yang terkesan fatamorgana itu.
Tak Ditandatangani Dua Pihak
Meski disaksikan lebih dari dua puluh pemimpin negara berpengaruh, tapi dua pihak yang diminta berdamai sama sekali tak hadir. Dua pihak itu adalah Israel dan Hamas atau Palestina.
Dengan kata lain, tak ada hal yang mengikat untuk kedua belah pihak itu, khususnya terhadap Isreal.
Terlebih lagi, dari sekian poin kesepakatan, hampir seluruhnya menjadikan Hamas sebagai pihak yang ‘tertuduh’ dan bersalah. Sementara Israel menjadi pihak yang netral atau korban.
Misalnya, pada poin meminta pihak Hamas untuk tidak lagi memimpin Gaza. Atau, Gaza akan dikelola oleh pihak netral yang bukan berasal dari Hamas.
Akar masalahnya bukan pada Hamas atau bukan Hamas. Tapi kebrutalan dan kejahatan Israel terhadap rakyat Gaza dan Palestina. Nah, poin tindakan hukum terhadap Israel justru tidak ada.
Tak Ada Sebutan ‘Palestina Merdeka’
Bisa dibilang, perjanjian damai ini merupakan langkah mundur terhadap apa yang selama ini sedang bergulir di meja PBB. Lebih dari 150 negara sudah mengakui kemerdekaan Palestina, termasuk pengakuan dari sejumlah negara Eropa seperti Inggris dan Prancis.
Namun, di poin perjanjian damai ini sama sekali tidak disebut adanya kata-kata ‘Palestina Merdeka’. Termasuk apa yang disebut sebagian pihak sebagai solusi dua negara.
Dengan kata lain, perjanjian damai ini merupakan kemenangan pihak Israel dan Amerika yang selama ini sudah terpojok oleh tuntutan kemerdekaan Palestina oleh ratusan negara.
Antara Idealita dan Realita
Di sinilah mirisnya. Tuntutan terhadap kemerdekaan Palestina seolah tertutup oleh keadaan nyata di Gaza. Bisa dibilang 90 persen bangunan di Gaza sudah rata dengan tanah.
Israel dan Amerika memanfaatkan keadaan itu untuk mengajak dunia untuk melupakan Palestina Merdeka. Yang lebih penting adalah menjadikan Gaza damai dan utuh seperti semula. Itulah logika yang mereka bangun.
Padahal, yang menyebabkan kehancuran itu adalah karena Israel tetap ingin menjajah Palestina. Israel juga tidak berniat untuk mengakui Palestina sebagai sebuah bangsa, apalagi negara.
Perkiraan dana yang dibutuhkan pun sudah diprediksi. Yaitu, sebesar 70 miliar dolar AS, atau sekitar seribu triliun rupiah.
Dana sebesar itu, tentu bukan datang dari pihak Israel dan Amerika. Melainkan dari para donator umat Islam dan dunia internasional.
Tapi, inilah sebuah kenyataan yang sulit dielakkan. Sebuah realita kemanusiaan di Gaza yang harus segera diselematkan.
Pertanyaannya, apakah perjanjian damai ini akan menjadikan Gaza dan Palestina tak lagi diserang Israel?
Tentu ini hal yang mustahil. Karena misi Israel adalah menguasai wilayah Arab. Bukan hanya Palestina, tapi juga termasuk Lebanon, Suriah, Irak, Mesir, dan sebagian wilayah Arab Saudi dan Iran.
Mungkin bagi Hamas, ini hanya rehat sejenak. Esok atau lusa, akan ada peperangan yang jauh lebih besar lagi dari hari ini. [Mh]