DALAM sejarah kepemimpinan, tidak sedikit pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan dan berlaku zalim terhadap rakyatnya.
Kondisi ini sering menimbulkan dilema di tengah umat: apakah mencela dan mencopot pemimpin semacam itu dibenarkan dalam Islam?
Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah pandangan syariat mengenai hak, kewajiban, dan batas-batas dalam bersikap terhadap pemimpin yang tidak adil.
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan bahwa pada dasarnya mencela tidak diperbolehkan kepada sesama muslim, yaitu janganlah saling mencela baik kepada pemimpin atau bukan.
Rasulullah bersabda:
سباب المسلم فسوق
Memaki seorang muslim adalah perbuatan fasiq. (HR. Bukhari no. 6044)
Ada pun yang diperintahkan adalah menasihati karena menasihati pemimpin bagian dari perintah agama.
Rasulullah bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat.”
Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?”
Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum umumnya mereka.” (HR. Muslim no. 55)
Tentunya mencela dan menasihati adalah dua hal yang berbeda. Bahkan menasihati pemimpin termasuk jihad paling utama:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
Dari Abu Said al Khudri, dia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zhalim.” (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2174, katanya: hadits ini hasan gharib. Ahmad No. 18830, dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq (perkataan yang benar). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 18830)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:
سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang menghadapi penguasa kejam, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079, Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, No. 4884, katanya shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Syaikh Al Albany mengatakan shahih dalam kitabnya, As Silsilah Ash Shahihah No. 374)
Maka, upaya nasihat atau kritik kepada pemimpin yang keliru kebijakannya adalah bagian dari ajaran Islam sejak dahulu.
Ada pun ajakan menyerah, diam saja, nrimo dengan keadaan pemimpin yang zalim, justru bukan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah paham terhadap dalil dan sejarah para ulama Salaf.
Jangan Mendukung Orang Zalim
Sebagian kalangan, sayangnya mereka juga berasal dari aktifis Islam, justru menjadi bumper bagi penguasa yg zalim.
Membungkus pembelaannya kepada penguasa zalim dengan memelintir dalil-dalil yang ujungnya adalah agar manusia diam saja walaupun harta mereka dirampas, yang penting pemimpin itu masih shalat.
Pemikiran ini bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunnah, dan Sirah para salaf.
Allah Ta’ala melarang keras orang-orang beriman sekadar untuk condong kepada orang zalim, maka bagaimana bisa seorang muslim malah jadi pelindungnya? Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS. Hud: 113)
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Dalam ayat lain:
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
Ayat lain:
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Taat kepada penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
Dalam As Sunnah pun, Nabi menyebut para pelindung, pendukung pemimpin yang zalim bukanlah termasuk umat Nabi, dan tidak akan mendapatkan telaganya.
Rasulullah bersabda:
«اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ»
“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sesudahku nanti akan ada para pemimpin?
Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.”
(HR At Tirmidzi no. 2259, An Nasa’i no. 4208, Shahih)
Maka, sangat tidak pantas jika ada orang yang mengaku beriman tapi selalu membenarkan kezaliman penguasa zalim, membelanya dimimbar-mimbar ta’lim, BC, medsos, dan mengklaimnya sebagai ajaran sunahnya kaum salaf.
Justru nama-nama besar generasi salaf dan khalaf menghiasai sejarah perjuangan ulama dihadapan penguasa yang zalim, seperti Said bin Jubeir, Abdullah bin Az Zubeir, Ibnu Al Asy’ats, Amir Asy Sya’biy, Ibnu Sirin, Sufyan Ats Tsauriy, imam yang empat, Izzuddin bin Abdissalam, An Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan lainnya.
Bagaimana Dengan Mendoakan Keburukan Kepada Pemimpin yang Zalim ?
Yang terbaik tentunya mendoakan kebaikan, agar Allah Ta’ala memberikan hidayah lalu kemudian dia menjadi pembela Islam.
Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan jika seandainya mereka punya doa yang mustajab niscaya mereka akan mendoakan pemimpin.
Namun demikian, para ulama membolehkan mendoakan keburukan kepada pemimpin yang memang dikenal tirani dan zalimnya. Dalilnya adalah:
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
”Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan terang-terangan kecuali oleh orang yang dianiaya/di zhalimi.” (QS An-Nisaa’: 148).
Juga, Sabda Rasulullah ﷺ :
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ هَذِهِ أُمَّتِي شَيْئاً فَرَفَقَ بِهِمْ، فَارْفُقْ بِهِ. وَمَنْ شَقَّ عَلَيْهَا فَاشْفُقْ عَلَيْهِ. رواه مسلم.
“Ya Allah, siapa saja yang memimpin/mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka SUSAHKANLAH IA”. (HR. Muslim no. 1828)
Ulama sekelas Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah -yang melarang berontak kepada pemimpin zalim- pun pernah berdoa buruk kepada pemimpin zalim pada masanya:
اللَّهُمَّ يَا قَاصِمَ الْجَبَابِرَةِ اقْصِمِ الْحَجَّاجَ ابن يوسوف…
“Ya Allah yang maha perkasa atas orang-orang zalim, hancurkan dan binasakanlah Hajjaj Bin Yusuf…” (Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 9/117)
Imam An Nawawi dalam Al Adzkar membuat bab berjudul:
بابُ جَواز دُعاء الإِنسان على مَنْ ظَلَمَ المسلمين أو ظلَمه وحدَه
Bab BOLEHNYA doa seseorang (dgn doa keburukan) kepada orang yang menzalimi kaum muslimin atau menzalimi dirinya seorang.
Beliau Rahimahullah menjelaskan:
وَقَدْ تَظَاهَرَ عَلىَ جَوَازِهِ نُصُوْصُ الْكِتَابِ وَالسُنَةِ وَأَفْعَالُ سَلَفِ الْأُمَةِ وَخَلَفِهَا
“Telah jelas kebolehan hal tersebut, berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Juga berdasarkan perbuatan generasi umat Islam terdahulu (yaitu salaf) maupun generasi terkemudian (khalaf).” (Al Adzkar, 1/493)
Hukum Mencela dan Mencopot Pemimpin yang Zalim
Kapankah Pemimpin Boleh Dima’zulkan atau Dicopot?
Ide mencopot pemimpin tentu ide yang tidak boleh sembarang. Mesti diperhatikan bagaimana tuntunan syariat sebagaimana dijelaskan para ulama.
Berikut ini pandangan Imam Abul Hasan Al Mawardi dalam Al Ahkam As Sulthaniyah tentang keadaan yang membuat dibolehkannya dicopotnya seorang pemimpin:
وإذا قام الإمام بما ذكرناه من حقوق الأمة فقد أدى حق الله تعالى فيما لهم وعليهم ، ووجب له عليهم حقان الطاعة والنصرة ما لم يتغير حاله والذي يتغير به حاله فيخرج به عن الإمامة شيئان : أحدهما جرح في عدالته والثاني نقص في بدنه . فأما الجرح في عدالته وهو الفسق فهو على ضربين : أحدهما ما تابع فيه الشهوة .
والثاني ما تعلق فيه بشبهة، فأما الأول منهما فمتعلق بأفعال الجوارح وهو ارتكابه للمحظورات وإقدامه على المنكرات تحكيما للشهوة وانقيادا للهوى ، فهذا فسق يمنع من انعقاد الإمامة ومن استدامتها ، فإذا طرأ على من انعقدت إمامته خرج منها ، فلو عاد إلى العدالة لم يعد إلى الإمامة إلا بعقد جديد …..
Jika imam (pemimpin) sudah menunaikan hak-hak umat seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka otomatis ia telah menunaikan hak-hak Allah Ta’ala, hak-hak mereka, dan kewajiban-kewajiban mereka. Jika itu telah dia lakukan, maka dia punya dua hak dari umatnya.
Pertama, ketaatan kepadanya.
Kedua, membelanya selama keadaan dirinya belum berubah.
Ada pun dua hal yang dapat merubah keadaan dirinya, yang dengan berubahnya kedua hal itu dia mesti mundur dari kepemimpinannya:
- Adanya cacat dalam ke- ’adalah-annya.
- Cacat tubuhnya
Ada pun cacat dalam ‘adalah (keadilan) yaitu kefasikan, ini pun ada dua macam; Pertama, dia mengikuti syahwat (dalam prilaku); Kedua, terkait dengan syubhat (pemikiran).
Bagian pertama (fasik karena syahwat) terkait dengan perbuatan anggota badan, yaitu dia menjalankan berbagai larangan dan kemungkaran, baik karena menuruti hawa syahwat, dan tunduk kepada hawa nafsu.
Kefasikan ini membuat seseorang tidak boleh diangkat menjadi imam (pemimpin), dan juga sebagai pemutus kelangsungan imamah (kepemimpinan)-nya.
Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, maka dia harus mengundurkan diri dari imamah-nya. Jika ia kembali adil (tidak fasik), maka imamah tidak otomatis kembali kepadanya, kecuali dengan pengangkatan baru. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28. Mawqi’ Al Islam)
Jika seorang pemimpin muslim yang fasiq bisa dicopot, tentunya pemimpin kafir radikal lebih layak untuk dicopot.
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah menjelaskan bahwa sisi kemampuan juga berperan penting, tidak dibenarkan asal mencopot tapi tidak ada kemampuan tentunya itu bahayanya lebih besar:
أَنَّهُ يَنْعَزِلُ بِالْكُفْرِ إِجْمَاعًا فَيَجِبُ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الْقِيَامُ فِي ذَلِكَ فَمَنْ قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ فَلَهُ الثَّوَابُ وَمَنْ دَاهَنَ فِعْلَيْهِ الْإِثْمُ وَمَنْ عَجَزَ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الْهِجْرَةُ من تِلْكَ الأَرْض
“Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan menurut ijma’ ulama. Wajib setiap muslim melakukan hal itu. Siapa yang mampu melakukannya, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu”. (Fathul Bari, 13/123)
Cara mencopotnya tentu dengan cara yang paling minim madharatnya, walau dalam sejarah umat ini bisa dilakukan oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau pernah dengan people power sebagaimana yg terjadi di beberapa negeri Islam.
Namun cara-cara yang konstitusional tentunya lebih baik.[Sdz]