GAZA seperti dalam ombang-ambing pasca gencatan senjata Hamas-Israel. Kemana arah perjalanan Gaza selanjutnya?
Mungkin, tak terpikir oleh Hamas bahwa pasca genjatan senjata, masa depan Gaza menjadi begitu ruwet. Silih berganti, kekuatan-kekuatan besar seperti saling membentuk jejaring agar Hamas tak lagi eksis di Gaza.
Mulai permainan ‘damai’ Israel terhadap Hamas, ancaman Trump yang bikin dunia heboh, dan terakhir, bersatunya Liga Arab yang siap mengelola Gaza pasca perang.
‘Permainan’ kekuatan besar ini tidak sedang terjadi di Gaza sendiri, melainkan juga di wilayah penyangga sekitarnya: Lebanon, Suriah, dan Iran.
Hampir bisa dipastikan, jika persoalan Gaza selesai dalam versi mereka, maka yang juga harus mereka ‘selesaikan’ adalah Lebanon, Suriah, dan Iran.
Jebakan Kekuatan Besar
Sebenarnya, persoalan Gaza di mata Hamas dan umat Islam begitu sangat sederhana. Yaitu, Israel menghentikan serangan, semua sandera bebas, bantuan dunia terus dibuka, dan Gaza membangun dirinya sendiri.
Tapi, kenapa saat ini rutenya menjadi begitu ruwet? Seolah masa depan Gaza sulit dipulihkan seperti sediakala jika Hamas masih berkuasa di Gaza.
Inilah dasar dari semua rute yang ditawarkan semua kekuatan besar itu. Yaitu, mengeluarkan Hamas dari dominasi di Gaza. Jadi, bukan Gaza yang saat ini mereka persoalkan, tapi Hamasnya.
Semua permainan mulai Israel yang tak mau keluar dari Gaza utara, Trump dengan ancamannya yang brutal, dan Liga Arab sebagai pengelola Gaza; merupakan jejaring yang berujung pada politik ekslusi terhadap peran Hamas.
Gaza tanpa Hamas
Inilah ide utama Israel dan Amerika terhadap Gaza. Yaitu, Gaza yang seperti Tepi Barat. Tanpa perlawanan, siap menerima semua kebijakan Amerika dan Israel, dan ujung-ujungnya: rela dicaplok Israel.
Pertanyaannya, apa mungkin membangun kembali Gaza tanpa peran Hamas? Jawabannya sangat tidak mungkin. Kecuali, mengeluarkan sebagian besar penduduk Gaza keluar Gaza dan menggantinya dengan warga baru. Itulah gagasan brutal dari Trump.
Hamas selama ini bukan hanya membangun infrastruktur di Gaza. Melainkan juga orang-orangnya. Mulai dari pemerintahan, keamanan, teknokrat, pengusaha, apalagi pendidiknya.
Begitu pun dengan warga Gaza yang dua jutaan orang itu. Mereka juga tak ingin dipisahkan dari Hamas. Dan berbagai usaha rekayasa pemisahan warga Gaza dengan Hamas selama ini selalu gagal.
‘Topeng Monyet’ Liga Arab
Semua pun tahu kalau Liga Arab selama ini tak lepas dari stempel Amerika. Mereka seperti ‘topeng monyet’ yang dimainkan oleh empunya. Tapi visi dan isi di kepala mereka kosong alias di bawah kendali Amerika.
Di mana peran Liga Arab selama ini ketika Gaza dibumihanguskan oleh Israel dan Amerika? Jangankan membantu, berkomentar pun tidak sama sekali.
Dengan kata lain, saat ini ada dua alat Amerika untuk mengeluarkan Hamas dari Gaza. Yaitu, cara keras dan cara lembut. Cara keras seperti yang diancamkan Israel terhadap Gaza: tutup pintu bantuan dan kembali perang.
Sementara cara halusnya dimainkan oleh Liga Arab. Mereka seolah ingin melindungi Hamas dan Gaza dari kebrutalan Israel dan Trump, tapi sebenarnya hanya persoalan rute jalan yang ditempuh. Ujung-ujungnya sama: politik eksklusi terhadap Hamas di Gaza.
Sikap Akhir Hamas dan Dunia Islam
Sepertinya, dunia Islam yang selama ini berempati dan bahkan ikut membantu perjuangan rakyat Palestina juga memiliki agenda yang seirama dengan Hamas.
Yaitu, biarkan Gaza membangun wilayahnya sendiri. Yang mereka butuhkan bukan kepemimpinan hamas atau yang lain. Melainkan, bantuan yang terus tertahan di pintu perbatasan Mesir, Rafah dan Yordania.
Kalau Amerika dan Israel tak ingin ada konflik tak berkesudahan di Palestina, caranya sangat sederhana: kembalikan tanah Palestina ke pemiliknya yang sah, yaitu warga Palestina sendiri. Israel tak lebih sebagai tumor yang harus segera diamputasi. [Mh]