SUMBER masalah itu ada dalam diri sendiri. Sayangnya, kita selalu memulai dari yang jauh.
Di sebuah desa, ada seorang kiyai yang menjadi panutan. Bukan sekadar dalam hal agama, tapi juga dalam bimbingan kehidupan. Seperti, bagaimana keluar dari masalah.
Ketika ekonomi desa lagi semrawut, seperti gagal panen, terjadi banjir dan longsor, dan lainnya; semakin banyak orang yang berkunjung ke kiyai.
Mereka berharap, dari kunjungan itu, ada jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi.
“Silakan tuturkan masalah-masalah kalian,” ucap kiyai dengan tenang.
Satu per satu, mereka menceritakan masalahnya. Tapi sebenarnya, semua masalah yang dipaparkan itu selalu berulang di bagian yang sama: keuangan.
Setiap kali satu warga menceritakan masalahnya, yang lain ikut merasa sedih. Begitu pun seterusnya. Jadilah kesedihan itu menumpuk di beban hati mereka yang sama.
Setelah semua cerita masalah selesai, pak kiyai tercenung sebentar. Ia pandangi satu per satu wajah warga yang hadir.
“Baiklah,” kata kiyai. “Aku akan menceritakan sebuah cerita yang mungkin membuat kalian tertawa,” lanjutnya.
Mulailah pak kiyai bercerita. Dengan keterampilan mimik dan intonasi, cerita humornya menarik perhatian semua orang. Dan, semua yang hadir pun tertawa.
Tampaknya, mereka mulai bisa melupakan masalah ruwetnya yang baru saja mereka ceritakan.
Pak kiyai mengatakan lagi, “Baiklah, aku akan ceritakan lagi cerita lucu yang baru saja aku ceritakan.”
Sepanjang cerita, tampak tidak banyak warga yang tertawa. Hanya sedikit saja yang masih tertawa. Mungkin karena cerita lucunya diulang, maka kesan lucunya tak lagi menarik mereka.
Setelah berhenti sejenak, pak kiyai mengatakan lagi, “Baiklah, akan kuceritakan lagi cerita lucu tadi.”
Pak kiyai menceritakan cerita lucu yang sama untuk yang ketiga kalinya. Kali ini, sepanjang cerita berlangsung hingga akhir, tak seorang pun yang tertawa.
Sejenak kemudian, pak kiyai menanyakan, “Kenapa kali ini gak ada yang tertawa?”
Salah seorang dari mereka menjawab, “Maaf Kiyai, karena berulang-ulang, ceritanya jadi tidak lucu lagi.”
Kiyai pun mengatakan, “Nah, kalau terhadap cerita lucu, kalian tak lagi tertawa karena diulang-ulang, kenapa dengan cerita sedih yang kalian alami berulang-ulang, kalian tetap merasa sedih?”
“Bukankah cerita sedih kalian merupakan pengulangan dari yang sebelumnya. Tapi, kenapa masih merasa sedih dan sedih?” ucap kiyai begitu retoris.
Semua yang hadir terdiam dan saling menatap satu sama lain. Sebagian lagi mengangguk-angguk pelan. Mereka pun pulang dengan jawaban di hati masing-masing.
**
Cerita suka dan duka dalam hidup ini selalu berulang. Secara jujur, mungkin kita akan mengatakan bahwa cerita sukanya lebih banyak dari dukanya.
Tapi dari sekian banyak cerita suka, kenapa yang selalu teringat hanya tentang cerita dukanya. Boleh jadi, sumber masalahnya ada dalam diri kita sendiri.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesan, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (QS. Al-Ma’arij: 19-21) [Mh]