BAGAIMANA hukum golput dalam Islam? Golput atau Golongan Putih merujuk pada orang-orang yang tidak melaksanakan hak pilihnya dalam pemilihan umum yang diadakan di suatu negara atau daerah.
Hukum golput dalam pemilu/pilkada tergantung bagaimana memandang hukum pemilu. Mereka yang mengharamkan pemilu/pilkada tentu menjadikan golput sebagai pilihan.
Adapun yang membolehkan intikhabat (pemilu) melihatnya dengan berbagai pertimbangan.
Darul Ifta Mesir telah mengeluarkan fatwa melalui Mufti Mesir Dr. Nasr Farid Washil pada tanggal 9 Oktober 2000 yang terdiri dari 5 poin, beberapa diantaranya berbunyi sebagai berikut.
Tidak diragukan lagi bahwa syura di dalam Islam merupakan demokrasi yang sebenarnya. Ia merupakan sesuatu yang wajib diperhatikan anggota masyarakat agar dapat jujur di setiap perkataan dan perbuatan mereka.
Serta hendaknya mereka menghormati pemerintahan legislatif (tasyri’iyyah), yudikatif (qadhaiyyah), dan eksekutif (tanfiziyyah) yang dihasilkan sistem syura yang sehat dengan keimanan yang benar.
Dan syura itu wajib bagi setiap individu untuk memilih unsur-unsur pemerintahan legislatif (tasyri’iyyah). Pemilihan ini sesuai dengan amanah agama dan syariat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa taala:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”
Wajib bagi mereka yang sempurna kelayakannya untuk melaksanakan amanah ini pada syura dan demokrasi yang sesuai terminologi kekinian untuk memberikan suaranya.
Dan tidak terlambat melaksanakan kewajiban ini dengan benar dan amanah. Hingga kita dapat meletakkan seseorang yang tepat di posisi yang tepat.
Dan hendaknya itu jauh dari fanatisme, penipuan, pemerasan, kekerasan. Dan hendaknya kemaslahatan negara di atas kemaslahatan individu.
Dan jangan menyeru untuk menahan syahadah (kesaksian dengan memberikan suara) yang Allah perintahkan untuk dilaksanakan.”
baca juga: Tentang Golput
Hukum Golput dalam Islam
Berpijak pada hal-hal tersebut serta kejadian aktual yang ditanyakan dan dimintai fatwanya, maka siapa saja yang menahan suaranya di pemilu/pilkada, ia berdosa secara syara’.
Karena ia telah menghalangi haknya bagi masyarakat yang memintanya untuk memberikan syahadah terhadap orang yang mencalonkan diri sebagai dewan perwakilan rakyat/daerah (DPR/DPD) atau presiden/gubernur/walikota/bupati untuk melayani masyarakat.
Sejalan dengan fatwa tersebut, Syekh Ali Jum’ah dalam sebuah acara televisi menjelaskan hendaknya kita tidak menahan syahadah (kesaksian melalui pencoblosan suara) ketika diminta.
Karena kesaksian pada pemilu/pilkada merupakan bagian daripada syahadah dalam Islam.
Pemilu menurut beliau adalah komponen netral untuk menentukan pilihan (ikhtiyar). Dan pilihan merupakan ekspresi dari prinsip syura yang Allah perintahkan serta dari prinsip nasehat seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: “Agama adalah nasihat.”
Sahabat bertanya: “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum muslim dan bagi kaum muslim secara umum”.
Allah menyebutkan agama sebagai nasihat sebagaimana menyebutkan haji adalah arafah. Maknanya, nasehat adalah unsur penting pada perintah kebaikan dan pelarangan keburukan, serta pada syura dan majelis.
Kesimpulan: Golput (dengan cara tidak datang di hari pencoblosan atau tidak mencoblos sama sekali atau mencoblos semua pilihan) hukumnya haram dalam Islam karena berarti menolak bersyahadah (bersaksi) tentang masalah kepemimpinan yang penting dalam Islam.
Juga sikap yang tidak bertanggung jawab tentang nasib umat Islam di masa depan.
Jika pun tidak ada yang ideal, maka pilihlah pemimpin atau wakil rakyat yang paling sedikit mudharat-nya bagi umat Islam dan bangsa.
Jika pun tetap ragu mana pemimpin atau wakil rakyat yang harus dipilih, maka bertanyalah dan berdiskusilah kepada para ulama/ustadz yang hanif. Sebab merekalah yang paling paham tentang kemaslahatan umat.[ind]
sumber: Serambi Ilmu dan Faidah