Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
ChanelMuslim.com- Inilah beberapa sunnah dan adab saat Hari Raya.
4. Pergi menuju lapangan untuk shalat Id
Shalat hari raya di lapangan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena Beliau tidak pernah shalat Id, kecuali di lapangan (mushalla). Namun, jika ada halangan seperti hujan, lapangan yang berlumpur atau becek, tidak mengapa dilakukan di dalam masjid. Dikecualikan bagi penduduk Mekkah, shalat Id di Masjidil Haram adalah lebih utama.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
صلاة العيد يجوز أن تؤدى في المسجد، ولكن أداءها في المصلى خارج البلد أفضل ما لم يكن هناك عذر كمطر ونحوه لان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي العيدين في المصلى ولم يصل العيد بمسجده إلا مرة لعذر المطر.
Shalat Id boleh dilakukan di dalam masjid, tetapi melakukannya di mushalla (lapangan) yang berada di luar adalah lebih utama, hal ini selama tidak ada ‘udzur seperti hujan dan semisalnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua hari raya di lapangan, tidak pernah Beliau shalat di masjidnya kecuali sekali karena adanya hujan. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Maksud dari “mushalla” adalah:
موضع بباب المدينة الشرقي
Lapangan di pintu Madinah sebelah timur. (Ibid, cat kaki. No. 2)
Imam An Nawawi menjelaskan:
أما الاحكام فقال اصحابنا تجوز صلاة العيد في الصحراء وتجوز في المسجد فان كان بمكة فالمسجد الحرام أفضل بلا خلاف
Ada pun masalah hukum-hukumnya, sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan bolehnya shalat ‘Id di lapangan dan bolehnya di masjid. Jika di Mekkah, maka Masjidil Haram adalah lebih utama, tanpa diperdebatkan lagi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّهُ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ
Bahwasanya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat Id bersama mereka di masjid. (HR. Abu Daud No. 1160, Ibnu Majah No. 1313, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1094, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6051, juga As Sunan Ash Shughra No. 732)
Adapun kalangan Syafi’iyah, lebih mengutamakan di masjid jika masjid itu mampu menampung semua jamaah satu daerah, jika tidak, maka di lapangan lebih baik.
Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah menuliskan:
وإن كان المسجد واسعا فالمسجد أفضل من المصلى لان الأئمة لم يزالوا يصلون صلاة العيد بمكة في المسجد ولان المسجد أشرف وأنظف قال الشافعي رحمه الله فإن كان المسجد واسعا فصلى في الصحراء فلا بأس وإن كان ضيقا فصلى فيه ولم يخرج إلى المصلى كرهت لانه إذا ترك المسجد وصلى في الصحراء لم يكن عليهم ضرر وإذا ترك الصحراء وصلى في المسجد الضيق تأذوا بالزحام وربما فات بعضهم الصلاة فكره
Jika masjid itu luas, maka shalat di dalamnya lebih utama dibanding di lapangan. Karena para imam senantiasa melakukan shalatnya di Mekkah di dalam masjid, juga karena masjid itu lebih mulia dan lebih bersih.
Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika masjid itu luas maka shalat di lapangan tidak apa-apa, jika masjidnya sempit maka shalatlah di lapangan. Jika ada yang tidak keluar menuju lapangan maka itu dibenci (makruh), karena jika mereka meninggalkan masjid dan shalat di lapangan, tidak akan terjadi dharar (kerusakan). Jika mereka meninggalkan lapangan, dan shalat di masjid yang sempit, maka hal itu akan mengganggu mereka dengan berdesak-desakan, bisa jadi di antara mereka ada yang luput shalatnya, dan hal itu menjadi makruh. (Al Muhadzdzab, 1/118)
Dalam Syarah terhadap kitab Al Muhazdzab-nya Imam Abu Ishaq, Imam An Nawawi memberikan rincian sebagai berikut:
– Shalat Id di Masjidil Aqsha, menurut Al Bandaniji dan Ash Shaidalani, lebih utama dibanding di lapangan. Jumhur tidak ada yang menolaknya, namun yang benar adalah bahwa mereka menyamakan secara mutlak bahwa Al Aqsha sama dengan masjid lainnya.
– Jika di negeri selain itu, maka jika mereka memiliki halangan untuk keluar ke lapangan, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa mereka diperintahkan shalat Id di masjid. Udzur tersebut seperti hujan, dingin, rasa takut, dan semisalnya.
– Jika tidak ada udzur, dan masjidnya sempit, maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa di lapangan lebih afdhal.
– Jika masjid luas, tapi tidak ada udzur, maka ada dua pendapat:
Pertama, yang shahih adalah yang tertera dalam Al Umm, dan merupakan pendapat Al Mushannif (maksudnya Imam Abu Ishaq Asy Syirazi), mayoritas ulama Iraq, Al Baghawi, dan selain mereka, bahwa shalat di masjid lebih afdhal.
Kedua, yang shahih menurut komunitas ulama khurasan bahwa shalat di lapangan lebih afdhal, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu melakukannya di lapangan.
Golongan yang pertama memberikan jawaban, bahwa dahulu shalat di lapangan lantaran masjid berukuran sempit sedangkan manusia yang keluar sangat banyak, maka yang lebih benar adalah di masjid. Demikian uraian Imam An Nawawi. (Lihat semua dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/5)
Jadi, jika dilihat perbedaan ini, nampak bahwa yang terpenting adalah tertampungnya jamaah shalat Id dalam tempat shalat. Itulah esensinya, kalangan Syafi’iyah bukan menolak shalat Id di lapangan sebagaimana penjelasan tokoh-tokoh mereka, sebagaimana memang itu yang dicontohkan nabi, tetapi mereka melihat pada maksudnya, yaitu karena manusia begitu banyak sedangkan kapasitas masjid tidak cukup. Nah, untuk zaman ini, rasio umat Islam dan jumlah masjidnya tidak seimbang, umumnya memang masjid tidak mampu menampung membludaknya jamaah –dan ini yang biasa terjadi- maka, saat itu di lapangan lebih afdhal.
Wallahu A’lam
Bersambung ….
[ind/alfahmu]