DAKWAH itu mengajak orang ke jalan Islam. Bayangkan yang diajak itu suku pedalaman di hutan belantara.
Sekitar sepuluh tahun lalu, ada sosok dai tanah Papua yang menarik perhatian Indonesia. Beliau adalah Ustaz Fadlan Garamatan.
Beliau asli Papua, berasal dari Fakfak, Papua Barat. Alumnus Universitas Hasanudin Makassar ini lahir dari keluarga muslim. Ayahnya seorang guru SD yang juga guru mengaji.
Satu hal yang luar biasa dari dai kelahiran 1969 ini adalah ia ingin mengislamkan Papua. Ia ingin berdakwah di tanah Papua meskipun sarananya sangat tidak memadai.
Ada seorang dai dari Pulau Jawa yang ingin merasakan seperti apa dakwahnya Ustaz Fadlan di Papua. Ia pun ikut Ustaz Fadlan, masuk keluar hutan belantara untuk menemui warga-warga di pedalaman.
Dalam satu hari perjalanan, ia bertanya ke Ustaz Fadlan apa lokasi yang dituju masih jauh. Jawabnya masih jauh. Begitu pun masuk di hari kedua, ketiga, dan keempat. Karena lokasi yang dituju harus ditempuh selama lima hari perjalanan.
Bahkan, ada perjalanan dakwah ke sejumlah suku di tempat yang berbeda, yang menerima Islam hanya satu orang.
Jangan bayangkan dengan sambutan meriah dari warga. Karena mereka umumnya masih sangat awam dengan kehidupan sosial umumnya warga Indonesia. Mereka suku-suku yang umumnya masih bertelanjang tanpa busana yang layak.
Itulah yang diajarkan Ustaz Fadlan selain tentang keislaman. Beliau mengajarkan berbusana yang layak, kebersihan, khususnya mandi. Tidak heran jika Ustaz Fadlan pernah dijuluki sebagai ‘ustaz sabun’ karena begitu gencar mengajarkan mandi warga Papua pedalaman dengan sabun dan sampo.
Walhasil, ribuan warga dari berbagai suku menyatakan masuk Islam. Didahului dari para kepala suku yang masuk Islam, para warga pun minta diajarkan tentang Islam.
Kini, dakwah Islam di tanah Papua terus berkembang. Begitu banyak masjid berdiri. Data terakhir, jumlah penduduk Papua yang sekitar 4,5 juta, hampir 10 persennya beragama Islam. Mungkin saat ini angkanya sudah lebih dari itu.
**
Kadang kita merasa sudah begitu berat mengembangkan syiar dan dakwah Islam. Seolah kitalah yang punya beban paling berat.
Padahal, jika dibandingkan dengan beratnya dakwah Ustaz Fadlan, kita merasa belum apa-apanya. Kita tak pernah masuk hutan belantara. Kita tak mendakwahi suku pedalaman yang mungkin belum mengenal tatakrama. Kita belum seberat itu.
Bercerminlah secara utuh dan jernih. Boleh jadi, langkah dakwah kita memang masih jauh dari kata berat. [Mh]