ANAK kok bisa cemburu? Bendri Jaisyurrahman seorang konselor ketahanan keluarga menjelaskan bahwa selain istri yang punya sifat cemburu, anak-anak terutama balita juga punya sifat yang sama.
Apalagi kalau punya anak wanita. Siap-siap aja.
Makanya tidak perlu menjalani poligami untuk merasakan serunya lika-liku percemburuan.
Punya anak wanita apalagi dengan jarak yang tidak jauh beda, sudah menguras energi kesabaran.
Masing-masing butuh diprioritaskan. Selalu jadi nomor satu.
Meskipun bungsu, ia ingin cinta dari ortunya hanya untuknya.
Ibarat silver queen, “Gak rela dibagi-bagi”. Kakaknya juga begitu.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
View this post on Instagram
Sebagai senior dalam kelahiran, ingin dirinya yang lebih diperhatikan.
Salah ngomong sedikit dengan maksud mengajarkannya untuk menyayangi adik, akan disikapi dengan nada emosi, “Ayah udah gak sayang aku lagi. Jangan-jangan aku anak tiri.”
Kemudian ngambek ke kamar dan nyetel lagu Angga Chandra “Sekecewa Itu”. Ini khusus gen Z.
Kalau Gen X mungkin yang distel lagu Pance Pondaag “Kau Telah Berdua”. Ya, masing-masing zaman punya lagu pamungkas yang mewakili luka.
Supaya anak tetap merasa berharga dan istimewa, perlu kiranya kita sebagai orangtua belajar ilmu prioritas.
Anak Kok Cemburu?
Baca juga:5 Cara Mendidik Anak sesuai Konsep Islam
Di antaranya, mempunyai waktu berdua saja dengan masing-masing anak yang diberi nama “Us Time”.
Atur agenda pekanan agar masing-masing anak punya kesempatan yang sama jalan berdua dengan ayah atau bundanya.
Meski cuman keliling komplek sambil mampir sebentar beli I-Phone atau Mobil Ferrari. Ups… ini mah kalau bawa jalan-jalan Rafathar atau Cipunk.
Intinya, jalan berduaan yang menyenangkan bersama anak sambil cari momen katakan cinta.
Lebih bagus lagi jika dengan cara berbisik, “Ayah sayang sama kamu. Kamu sangat istimewa di hati Ayah”.
Padahal sama yang lain begitu juga.
Memang, mengasuh anak bukan sekadar membutuhkan ilmu. Tapi juga seni.
Sebab kita sedang mengelola rasa yang sifatnya sangat subjektif di hati anak.
Bukan sekadar berapa banyak cinta yang kita berikan, tapi seberapa banyak cinta yang anak terima.[Sdz]