CAHAYA ada yang terang, temaram, dan nyaris gelap. Kadang yang temaram lebih menenangkan.
Seorang kakek dan nenek diajak anaknya tinggal di kota. Sang anak ingin berbagi kesenangan pada ayah ibunya agar tidak bosan tinggal di desa.
Suasananya sangat berbeda. Di desa, keduanya biasa akrab dengan suasana yang alami. Tapi di kota serba tombol dan mesin.
Di desa, penerangan ala kadarnya. Cahaya temaram membuat mereka mudah tidur di awal malam. Tapi di kota serba terang. Andai tidak melihat jam, suasana serasa tanpa malam.
Cahaya temaram dan hampir gelap memang serasa menakutkan untuk warga kota. Tapi untuk orang desa, suasana itu seperti selimut nyaman yang membuai mereka dalam tidur panjang.
Keduanya ingin segera pulang ke desa. Mereka hanya ingin merasakan hari di dua suasana: siang dan malam. Tidak suka serba cahaya tanpa temaram.
**
Siang dan malam tak ubahnya seperti kenyataan hidup semua orang. Siang mengartikan kehidupan yang serba ada. Dan malam menunjukan yang sebaliknya.
Dengan ‘siang’ yang full cahaya, orang selalu ingin bergerak, bergairah, dan selalu ‘on’ tanpa merasa lelah. Sementara, ‘malam’ yang gelap menunjukkan suasana tanpa dinamika: diam dan diam. Bukan tidak ingin bergerak, tapi memang keadaan membuat mereka tak mampu bergerak.
Nikmatilah suasana ‘temaram’. Meski tak banyak yang dimiliki, tapi masih bisa untuk bergerak dan terus bisa menghargai nikmat Allah.
Dalam suasana itu, hati kadang lebih hidup untuk bisa menangkap kepedulian, cinta dan kasih sayang dengan sekitar. [Mh]