KAPASITAS seseorang itu seperti RAM pada sebuah ponsel. Semakin besar, semakin cepat dan luas jangkauan prosesnya.
Pernahkah kita membayangkan seperti apa persepsi anak kecil terhadap kita. Kenapa mereka mau patuh dan hormat pada orang dewasa?
Jawabannya sederhana. Karena anak kecil menganggap orang dewasa jauh lebih pintar dan berpengalaman dibandingkan mereka.
Apa yang akan terjadi jika si anak kecil itu menjadi dewasa, sementara kita menjadi hampir tua. Yang akan terjadi adalah anak kecil yang sudah dewasa itu akan menguji kapasitas kita.
Kalau kita masih melampaui mereka, mereka akan tetap hormat dan patuh pada kita. Tapi jika sama, apalagi tertinggal, mereka mungkin akan menganggap kita orang biasa saja.
Dengan kata lain, jangan ada stagnan dalam kapasitas diri kita. Tidak ada kata berhenti dalam belajar: teori maupun amal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Jadi, proses belajar tidak boleh berhenti. Bahkan pada saat mengajar pun, proses belajar justru semakin lebih banyak lagi. Karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin akan memberikan ke orang lain.
Belajar tidak mesti selalu dalam bentuk kuantitatif. Tidak selalu harus dengan menghafal. Tapi juga memahami makna dan hikmah di balik sebuah ilmu.
Misalnya, kalau di saat remaja dengan memperbanyak hafalan. Di saat menjelang tua dengan banyak belajar tafsir dan sebab turunnya ayat atau hadis. Dengan begitu, ada kenaikan mutu dalam ilmu.
Selama ini, misalnya, pengetahuannya sebatas kewajiban terhadap amal ibadah. Misalnya shalat, zakat, sedekah, haji, menutup aurat, dan lainnya. Kini, mulailah belajar memahami kenapa Allah mewajibkan hal itu semua. Apa hikmah di balik yang Allah wajibkan.
Ada dua orang tinggal dalam satu kamar. Yang satu muslim dan satunya non muslim. Yang muslim selalu tepat waktu dalam shalat. Yang non muslim memperhatikan ibadah teman sekamarnya itu.
Setelah beberapa hari memperhatikan, non muslim itu mengatakan, “Kenapa di setiap pergeseran letak matahari, Anda melaksanakan ibadah?”
Si muslim itu terperanjat dengan pertanyaan itu. Ia seperti baru menyadari bahwa shalat yang dilakukan mengikuti pergeseran letak matahari.
Subuh pada saat matahari akan terbit, zuhur saat matahari di atas, ashar saat matahari condong menjauh, magrib saat matahari terbenam, dan Isya saat matahari hilang sempurna.
Saat itu si muslim bingung mau jawab apa. Di luar dugaannya, ternyata non muslim menganalisisnya dengan begitu tepat.
Di sinilah perlunya selalu meningkatkan kapasitas diri. Mulai dari ilmu, amaliah, dan akhlak.
Belajar itu memang unik. Semakin orang haus dan tekun belajar, semakin ia merasa kurang ilmu. Sebaliknya, semakin orang malas belajar, semakin ia merasa sudah sangat pintar.
Ulama mengatakan, “Siapa yang mengamalkan suatu ilmu yang ia pelajari, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak ia ketahui.” [Mh]