HIDUP ini seperti menaiki lantai atas gedung. Setinggi apa pun lantai yang dituju, pada saatnya akan turun juga.
Seorang pegawai baru saja diterima bekerja. Kantornya di lantai dua. Setiap pagi ia naik ke lantai dua, dan sorenya turun ke lantai dasar.
Dua tahun kemudian ia naik jabatan. Kantornya kini di lantai empat. Setiap pagi ia naik ke lantai empat, dan sorenya turun ke lantai dasar.
Begitu pun seterusnya, setiap kali naik jabatan, letak kantornya ada dua lantai di atasnya. Hingga, ia sudah berkantor di lantai dua puluh.
Satu hal yang ia pegang: semakin tinggi jabatan yang ia pegang, semakin tinggi letak kantornya. Dan, itu berarti, semakin berat pula jalan turunnya.
Pernah ia membayangkan untuk tidak turun-turun. Ia ingin tetap berada di kantor di lantai dua puluh. Tapi, itu sangat tidak mungkin. Karena jati dirinya ada di lantai dasar alias jalan menuju rumahnya.
Ia juga pernah membayangkan kalau naik ke lantai atas tanpa lift alias dengan tangga biasa. Boleh jadi, susah mencari orang yang mau naik jabatan. Karena, naik tangganya berat, sementara turunnya beresiko jatuh.
Akhirnya, si pegawai itu berujar lirih, “Ah, mungkin inilah hidup. Setinggi apa pun perjalanan yang dicapainya, pasti akan turun juga ke lantai asal.”
**
Semua kita tidak datang dari langit. Melainkan, dari tanah. Kita berasal dari ayah ibu. Kita punya keluarga.
Sejauh apa pun kita pergi. Setinggi bagaimana pun capaian yang kita raih, kita akan pulang juga. Dan itu artinya turun ke lantai dasar, ke titik asal kita.
Dan, semulia apa pun posisi yang kita raih, masa hidup kita terbatas. Pada saatnya akan kembali juga ke titik asal: titik nol kita. Yaitu, tanah.
Karena itu, jangan pernah merasa akan selalu di ‘atas’. Jangan pernah mengecilkan orang-orang yang di ‘bawah’. Semua kita akan kembali ke posisi yang sama: tanah kuburan kita. [Mh]