INILAH Ramadan Terburukku, sebuah cerpen yang ditulis oleh Juwita Fajar Hari yang diikutsertakan dalam Lomba Cerpen ChanelMuslim.com.
Sungguh aku menyesal dengan semua keadaan ini. Meskipun ada hikmah dibaliknya tetap saja aku merasakan inilah Ramadan terburukku. Ramadan terburuk yang pernah aku lewati sepanjang hidupku.
Kenalkan namaku Rendi, umurku 35 tahun. Aku terlahir sebagai seorang anak sulung dari 8 bersaudara di sebuah kampung halaman yang sangat jauh dari hiruk pikuk dunia.
Orang tuaku petani sukses di kampungku. Sungguh damai nian hari-hari ku setiap hari. Aku lahir di tengah perbukitan hijau yang menyejukkan.
Jalan-jalan dihiasi dengan batu alami yang membelah desa. Dikelilingi oleh pepohonan rindang dan lapangan hijau yang luas.
Rumah-rumah tradisional masih terbuat dari batu dan kayu, dengan atap genting merah.
Suara gemericik air dari sungai kecil yang mengalir di tepi desaku menambah ketenangan suasana.
Di sore hari, sinar matahari memancar melalui pepohonan, menciptakan bayangan yang menari di jalanan desa.
Penduduk kampung terlihat sibuk dengan aktivitas sehari-hari mereka, sementara hewan ternak asyik makan di padang rumput hijau yang subur.
Kampungku adalah tempat yang sempurna untuk melarikan diri dari kegaduhan perkotaan dan menikmati ketenangan alam yang mempesona.
Desaku jauh dari kata modern saat itu. Ah tidak cukup waktu untuk menceritakan tentang kampung halamanku.
Kampung yang sangat aku rindukan di sisa umurku. Tapi itu dulu, kehidupanku kini berubah 180 derajat dari aku yang dulu.
Sejak aku kuliah dan mendapatkan pekerjaan mapan. Semua ketenangan itu hilang berganti ambisi dunia tanpa henti.
Sejak bekerja dan mendapatkan fasilitas dunia yang begitu melenakan. Aku tak kenal lagi dengan Rabbku.
Hingga sampai pada Ramadan ke-35 ini. Aku seakan diperlihatkan akan buruknya masa laluku dan lambat laun akan berdampak pada masa depanku kelak.
Baca juga: Satu Bus Bersama Malaikat Maut
Inilah Ramadan Terburukku
Tahukah kalian sejak aku merantau ke ibukota. Semua kedamaian jiwa itu perlahan hilang dan berganti dengan kesenangan dunia tanpa hati.
Mungkin bahasanya terlalu berat. Tapi begitulah adanya. Aku terjebak oleh nafsu duniaku sendiri. Aku diperbudak dunia.
Apalagi di bulan Ramadan yang seharusnya dijadikan masa berlomba dengan amalan sholih sebagai tabungan akhirat kelak. Aku malah memanfaatkannya dengan menimbun kekayaan dunia.
Tahukah kalian, omzet penjualan makanan dan pakaian di bulan Ramadan meningkat berkali-kali lipat.
Membuat ambisiku sebagai pengusaha tidak henti memotivasiku untuk terus produktif di bulan Ramadan.
Sungguh hal yang di luar akal sehat kita sebagai hamba Allah. Bisnis yang sangat menggiurkan sekali.
Antusias masyarakat seminggu menjelang Idul Fitri begitu meningkat dan ini hal yang menguntungkan sekali bagiku sebagai pengusaha.
Sejak aku terjun langsung dan memberhentikan tangan kananku. Laba bisnisku meningkat tajam. Hampir berkali-kali lipat. Amazing sekali.
Meskipun aku seorang pekerja kantoran tapi jiwa dagangku selalu memanggilku untuk terus produktif.
Bagi kami sebagai pengusaha, Ramadan adalah bulan paling dinanti. Karena bulan ini jadi bulan di mana penjualan meningkat tajam.
Tapi sayang ibadah kami tidak maksimal karena harus fokus pada produksi, stok barang, pesanan dan banyak lagi. Bahkan sebagian dari kami tanpa rasa malu tidak berpuasa dengan alasan tidak kuat.
Ah… sudahlah terlalu banyak hal yang ingin diceritakan tentang manisnya cuan Ramadan bagi pebisnis. Terutama bagi yang sudah memiliki pasar sendiri.
Tapi tahukah meskipun dunia aku dapat, tapi sayang jiwaku begitu kering. Hatiku terasa tidak tenang. Ambisi untuk terus meraup untung semakin menyala.
Hingga suatu hari, saat aku mengirimkan barang ke sebuah toko besar di pusat perbelanjaan.
Saat itu, waktu magrib telah berkumandang dan aku diajak untuk ke masjid menunggu waktu berbuka oleh owner.
Kaget sekali saat banyak sekali jamaah yang menunggu waktu berbuka. Ada yang membaca Alquran, mendengarkan kajian dan aktivitas lainnya.
Begitupun panitia sibuk menyiapkan makanan dan minuman berbuka bagi ratusan jamaah. Apakah mereka tidak rugi dan lelah bercapek-capek seperti ini.
Banyak sekali pertanyaan lain hadir di benakku.
“Tahukah jamaah ada lima perusak amal di bulan Ramadan yaitu beramal tanpa ilmu, masih meneruskan maksiat, masih pelit dengan harta, puasa tetapi tidak sholat dan shalat tarawih super ngebut,” jelas ustaz menutup kajian menjelang berbuka saat itu.
Sangat jelas di benakku. Semua perkataan ustaz tersebut. Aku seperti disindir sangat halus. Betapa bodohnya diriku hanya mengejar keuntungan dunia tanpa tahu keutamaan Ramadan lebih dari sekadar keuntungan dunia.
Aku kembali tersadarkan betapa semangatnya aku saat menyambut Ramadan dulu di kampung halaman tercinta. Dunia membuat kulupa dengan semuanya.
Ramadan adalah ajang kami di kampung berlomba-lomba dengan amalan sholih, berlomba-lomba khatam qur’an, berbagi takjil, bersedekah bahkan yang paling seru adalah mencari malam Lailatul Qadar.
Kami sering mencari masjid yang mengadakan itikaf di sepuluh terakhir ramadan.
Ah.. sudahlah dunia telah melenakan dan melupakan kebiasaan-kebiasaanku selama di kampung halaman.
Sebenarnya usiaku masih tergolong muda.
Aku mulai merantau saat umur 18 tahun karena mendapatkan beasiswa di ibu kota.
S-1 dan S-2 aku jalani dengan lancar dan sesuai target. Hingga akhirnya aku tamat dengan predikat Cumlaude pada saat usiaku masih 25 tahun.
Tapi sayang, bapak ibu sudah meninggal saat aku di wisuda. Beban sebagai anak sulung mewajibkan untuk menjadi panutan 3 adik laki-laki dan 4 adik perempuan.
Inilah awal diriku semakin lupa dengan kewajibanku sebagai hamba Allah. Tuntunan hidup dan tanggung jawab yang besar sebagai pengganti orang tua membuatku lupa dengan masa laluku yang sangat religius.
Ya, 10 tahun sudah berlalu dan aku nyaris melupakan kemuliaan Ramadan. Hingga datang hari ini. Hari di mana semuanya kembali mengingatkan akan masa-masa indah Ramadanku. Sungguh 10 tahun adalah Ramadan terburukku.
Buruk karena aku tak pernah memaksimalkannya dengan sebaik mungkin. Sering bolong puasa dan tarawih.
Tak pernah itikaf ramadan bahkan tidak pernah membuka Alquran sedikitpun.
Astagfirullah.
Aku sadar tapi hatiku sudah dikunci oleh Allah. Aku jadi ingat dengan nasihat bapak sebelum beliau meninggal dunia.
“Nak jangan sampai kau diperbudak oleh dunia. Tetaplah fokus pada tujuan utama kita di dunia yaitu surganya Allah. Investasi terbaik kita di dunia investasi akhirat. Perdagangan terbaik adalah perdagangan dengan Allah Taala,” petuah bapak sebelum meninggal dunia.
Bapak sosok yang sederhana, tidak pernah memiliki ambisi yang besar pada dunia. Meskipun kaya tapi tak pernah berfoya-foya. Selalu bersedekah pada sesama.
Ah sudahlah, aku bukanlah si ahli bercerita. Hanya saja aku ingin berbagi cerita tentang kisah Ramadan terpurukku.
Aku yakin masih banyak Rendi, Rendi di luar sana dengan kesibukan berbeda dengan tujuan yang sama. Kesenangan dunia.
Ya.. aku akui hatiku hampa meskipun berlimpah harta. Aku akui 10 telah jadi Ramadan terburukku dan aki berjanji di sisa Ramadan kali ini aku bisa lebih maksimal lagi ibadahnya.
Aku akan atur waktu saat baik saat saat urusan dunia dan akhirat. Ya benar, inilah Ramadan terburukku. Ramadan bukannya mengejar pahala tapi mengejar cuan.
Ah, sudahlah terlalu banyak dosa masa lalu kalau ingin dikuliti. Maaf aku tidak terampil menulis cerita tapi inilah kisah Ramadanku.[]