ChanelMuslim.com – Daerah Papua yang indah, subur dan kaya tiba-tiba muncul masalah gizi buruk. Hal ini menjadi pertanyaan bagi kita yang mendengar hal ini.
Ketika tim dokter dari Ikatan Dokter Indonesia dan Dompet Dhuafa datang ke Asmat. Mengenai Gizi buruk yang dialami masyarakat di sana terbuka misterinya.
Hal ini diungkapkan dr Halid Malik dari Ikatan Dokter Indonesia.
“Sebenarnya perilaku orang Asmat adalah tipe mandiri. Hampir kebutuhan masyarakat di sana bisa dipenuhi di sekitar lingkungan mereka, baik di dekat rumah, laut, maupun di hutan,” kata dr. Halid ditemui di Konferensi Food Bank for Asmat di Gedung Dompet Dhufa, Selasa (14/2/2018).
Namun, kata pria memakai kemeja ini mengaku perilaku mereka berubah ketika mereka mendapat pekerjaan dan upah, seperti menebang kayu, dan berbagai pekerjaan baru.
“pekerjaan baru mereka membuat mereka sibuk sehingga melupakan kebiasaan mereka untuk mencari sagu dan makanan di sekitar mereka yang bergizi,” kata dr khalid.
Dari pekerjaan baru tersebut, kata dr. Halid, mereka mendapat upah dan membelanjakan makanan instan.
“Anehnya mereka lebih suka membelanjakan makanan instan seperti mie, ikan kaleng. Makanan tersebut nanti dicampur sagu,” tambah Halid.
Halid menambahkan pergeseran makanan yang biasa dicari tersebut menjadi makanan instan membuat gizi buruk di asmat.
“Selain itu, tingkat kelahiran orang asmat sangat tinggi. Mereka bisa melahirkan setahun sekali. Dengan rata-rata sepasag suami istri mempunyai delapan orang anak,” kata dr. Halid.
Bayi yang masih disusui, kata Halid, tidak terkena gizi buruk. Namun, mereka yang sudah tidak disusui itu kena kekurangan gizi.
“Rata-rata bayi berumur satu tahun karena bayi yang sudah berumur satu tahun biasanya sudah tidak disusui dan sering ditinggal oleh kedua orang tuanya per dua minggu sekali,” tambah dr. Halid.
Tiap dua minggu sekali orang-orang Asmat pergi ke hutan untuk mencari sagu. Bayi yang sudah lebih satu tahun dititipkan ke tetangga atau ke sanak famili mereka.
“Ini masalah lain yang harus diperhatikan oleh pemerintah mengenai tingkat kelahiran di Asmat. Jika dibiarkan atau tidak dikontrol maka akan menjadi masalah berkepanjangan. Bayi-bayi yang dititipkan itu belum tentu diberikan susu atau gizi yang baik dari keluarga atau tetangganya,” katanya.
Kesimpulan ini diambil dr. Halid setelah tiga minggu berada di Asmat. Selain itu, geografis di Asmat itu tidak baik karena merupakan tanah rawa. Suku Asmat, kata dr khalid, mengambil air bersih dari air hujan yang turun per dua hari sekali.
dr. Khalid berharap pemerintah memerhatikan terkait pendidikan, kemudian cara mengelola uang, air bersih dan tambahan tenaga kesehatan.
“Lokasi asmat sangat jauh dari pelayanan kesehatan, bukan itu saja hanya ada 6 tenaga kesehatan. Itu tidak sebanding dengan warga Asmat yang banyak,” pungkasnya