ROASTING atau memperlakukan seseorang dengan tidak nyaman memang tidak menyenangkan. Tapi di balik itu, tersembunyi sebuah hikmah.
Ada seorang raja di negeri antah berantah. Hidup dalam sebuah kemegahan luar biasa. Namun begitu, ia dikenal sebagai raja yang adil dan bijaksana.
Suatu kali, dikabarkan bahwa permaisuri raja melahirkan seorang putera. Keduanya bahagia, begitu pun rakyatnya. Karena suatu saat, akan ada pengganti yang sama bijaksananya.
Menariknya, raja, atas restu permaisurinya; menitipkan sang pangeran kecil ke sebuah keluarga di sebuah desa, sebuah keluarga yang sederhana tapi hidup bahagia.
Pangeran kecil pun tumbuh tanpa sentuhan lingkungan istana. Ia tidur, makan, minum, sekolah, bermain; layaknya seperti anak-anak desa umumnya. Warga di sekitar pun tak mengetahui kalau di antara mereka ada seorang pangeran yang tumbuh besar bersama mereka.
Singkat cerita, sang pangeran pun sudah menjadi seorang pemuda. Ayah ibu angkatnya memintanya untuk melamar kerja di istana. Sebuah tanda khusus dititipkan untuk disampaikan kepada raja.
Tibalah ia di istana raja. Ia mengatakan kepada petugas kerajaan untuk melamar kerja. Ia bisa membaca, berhitung, berkomunikasi dengan cakap, mahir seni bela diri, dan tentu saja kelayakan secara kepribadian dan kesolehan.
Petugas istana pun menguji kelayakan sang pemuda yang sebetulnya sang pangeran. Ujian menyatakan sang pangeran lulus. Ia pun ditempatkan sebagai staf kementerian raja.
Waktu pun bergulir. Sang pangeran mulai beradaptasi dengan kerja keras di kerajaan. Gaji yang diterima, ia berikan ke ayah ibu angkatnya di desa.
Ketika ada kesempatan untuk bertemu raja, sang pangeran menyampaikan tanda khusus yang dititipkan ayah ibu angkatnya untuk diberikan kepada raja.
Raja dan permaisuri terperanjat dengan tanda khusus itu. Keduanya sontak menangis haru. Mereka tak menyangka kalau pertemuan yang dinanti-nanti itu akhirnya tiba.
“Anakku, ini ibu dan ayahmu yang sebenarnya, Nak!” ucap sang permaisuri langsung memeluk sang pangeran yang juga staf kementerian.
Sang pangeran terkejut. Ia nyaris tak percaya dengan perlakuan itu. Tapi setelah dijelaskan oleh ayah ibu angkatnya, ia pun akhirnya percaya. Tapi kenapa seperti itu caranya?
“Maaf tuan Raja dan permaisuri. Kenapa paduka memperlakukan aku seperti itu: menempatkanku jauh dari lingkungan istana?” ucap sang pangeran, bingung.
Raja pun menjelaskan semuanya. “Maafkan perlakuan kami kepadamu, Nak. Bukan kami tidak sayang atau ada cacat dalam dirimu. Sebaliknya, kami ingin kamu tumbuh sempurna layaknya para pemuda yang mencintai bangsanya,” jelas sang raja.
“Lihatlah dirimu sekarang. Suatu saat, ketika menjadi raja, kamu tak perlu lagi menyelami kehidupan rakyatmu. Karena kamu tumbuh besar bersama mereka,” tambah sang permaisuri.
Sang pangeran pun bersimpuh di hadapan ayah ibunya. Terbayang ketika selama ini ia hidup begitu sederhana. Jauh dari gemerlap kehidupan istana. Dan justru dengan begitulah, ia bisa terbebas dari dunia hedonis yang bisa menjerumuskannya.
**
Bumi ini Allah wariskan khusus untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Sepertinya, Raja Yang Maha Raja seperti meroasting kita untuk benar-benar siap dengan pewarisan itu.
Kita hidup dengan sangat sederhana. Jauh dari gemerlap dunia yang mempesona.
Bukan karena ‘Sang Raja’ tidak cinta, apalagi menganggap hamba-hamba-Nya pantas untuk disia-siakan dan diterlantarkan.
Bukan itu. Tapi untuk menyiapkan hamba-hamba-Nya, suatu hari nanti, untuk siap memimpin dunia ini. Sebuah kepemimpinan yang didamba umat manusia.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang soleh.” (QS. Al-Anbiya: 105)
Karena itu, jangan buruk sangka dengan yang kita terima. Tetaplah untuk sabar dan bersyukur. Selalulah berbaik sangka dengan Allah. Bahwa, tak ada yang buruk yang Allah perlakukan untuk kita. [Mh]