PERPUSTAKAAN pada masa keemasan Islam sudah menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa, kota, di rumah sakit dan sebagainya.
Namun, buku-buku berharga itu dibuang tentara Mongol ke sungai Tigris untuk digunakan sebagai jembatan penyeberangan.
Penulis buku Journey to the Light Uttiek M. Panji Astuti menulis artikel berjudul “Buku dan Peradaban” yang mengulas tentang sejarah perpustakaan pada masa keemasan Islam.
“Mahasiswa Rp10.000,” kata petugas di balik loket.
“Saya bukan mahasiswa,” jawabnya sambil mengangsurkan uang.
“Pelajar juga sama. Pelajar atau mahasiswa Rp10.000,” jawab petugas loket keukeuh, yang membuat saya yang berada loket sebelah anak muda itu menoleh.
“Saya pembeli umum, Pak, bukan pelajar atau mahasiswa,” jawabnya lagi.
Saya tersenyum menyaksikan percakapan itu. Petugas loket tidak salah, penampilan anak ini memang mirip mahasiswa, sehingga ia mengenakan tarif tiket yang lebih murah.
Sepuluh ribu untuk mahasiswa dan pelajar, lima belas ribu untuk umum.
Saya terkesan dengan kejujuran anak muda yang membeli tiket masuk Islamic Book Fair (IBF) 2023, yang dihelat selama 5 hari, dari 20-24 September 2023 di Istora Senayan, Jakarta.
Sekalipun pengunjung IBF tahun ini lebih ramai dari tahun sebelumnya, namun jumlah buku baru yang diterbitkan lebih sedikit, serta absennya beberapa penerbit besar membuka standnya di ajang ini.
Baca juga: Lubna al-Qurthubiyah dari Budak menjadi Pustakawan di Perpustakaan Besar Andalusia
Perpustakaan pada Masa Keemasan Islam
Saya membayangkan buku-buku yang menyesaki Istora Senanyan ini tak ada apa-apanya dibanding jumlah buku yang dibuang tentara Mongol ke sungai Tigris untuk digunakan sebagai jembatan penyeberangan.
Lebar sungai Tigris itu selebar sungai Nil di Mesir dengan kedalaman 10-11 meter, tulis Prof DR Raghib Sirjani dalam bukunya “Qisshatu al-Tatār min al-Bidāyah ila `Ain Jālūt”, tapi bisa dilintasi pasukan berkuda dengan aman tanpa ada yang terhanyut ke sungai, saking padatnya buku-buku yang digunakan sebagai jembatan.
Tak hanya di Baghdad, sebelumnya pasukan penghancur peradaban itu juga telah membakar perpustakaan di Bukhara, Khawarizm, hingga Samarkand, yang kini berada di Uzbekistan modern.
Padahal, sewaktu Ibnu Sina berada di Bukhara pada masa pemerintahan dari Samanid Amir Nuh bin Mansur, ia menuliskan bahwa perpustakaan di Bukhara memiliki banyak ruangan.
Setiap ruangan merupakan tempat buku dengan disiplin ilmu tertentu yang belum pernah dilihat sebelumnya.
View this post on Instagram
Pada masa keemasan Islam, perpustakaan sudah menjadi sebuah keniscayaan, baik di rumah, gedung pemerintahan, di desa, kota, di rumah sakit dan sebagainya.
Setidaknya ada 5 pembagian perpustakaan yang tercatat dalam sejarah Islam, yakni perpustakaan negara, perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, perpustakaan madrasah (atau universitas saat ini)/masjid, dan perpustakaan pribadi.
Jangan bayangkan berapa banyak koleksi buku di perpustakaan negara yang dihancurkan oleh pasukan Mongol saat itu.
Sebagai perbandingan, koleksi perpustakaan pribadi seperti yang dimiliki Abu al-Fadhl bin al-`Amīd, ketika hendak dipindahkan ke tempat lain, ia membutuhkan seratus unta untuk mengangkatnya.
Saking banyaknya, bahkan filosof sekaligus fisikawan Prancis, Gustav Le Bon, mengatakan jumlah buku di perpustakaan pribadi Abu al-Fadhl bin al-`Amīd lebih banyak dari buku semua buku yang ada di negara Eropa saat itu.
Menyaksikan antusias generasi muda Muslim di IBF 2023 seakan menjadi angin segar di tengah berita carut marut yang terjadi di negeri tercinta.[ind]