ADA sebuah khutbah Jumat tentang keluarga ideal yang disampaikan oleh KH. M. Hilmi Hasbullah, MA, Ph.D. Kaum muslimin yang dimuliakan Allah. Mari kita haturkan ungkapan syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah Ta’ala, yang telah memberi nikmat dan anugerah yang tak terhingga banyaknya. Mari ungkapan itu kita upayakan melalui penguatan takwa kita, dengan cara melihat dan mencermati apa yang kita lakukan.
Baca Juga: Khutbah Jumat dari Imam Besar Masjid Istiqlal tentang Tantangan Masa Depan Umat
Khutbah Jumat tentang Keluarga Ideal Menjadi Pilar Kokohnya Bangsa
Apabila yang kita lakukan telah sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Rasulullah SAW, maka segera laksanakan rencana tersebut. Sedang apabila yang akan kita lakukan ternyata bertentangan dengan petunjuk keduanya, maka segeralah ditinggalkan dan dibatalkan demi kebaikan kita.
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah.
Tema khutbah yang diberikan kepada saya pada hari ini adalah Keluarga Ideal Pilar Kokohnya Bangsa. Tema ini tentu amat menarik dan sangat penting untuk menjadi perhatian kita semua. Mengapa? Karena pada hakikatnya, keluarga adalah komunitas terkecil dan miniatur bangsa.
Wujud bangsa sesungguhnya adalah perkumpulan keluargakeluarga, yang jika demikian maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa keluarga adalah pondasi bangsa.
Bila kondisi keluarga-keluarga itu rukun, tenang dan tentram, maka begitu juga dengan kondisi bangsa. Sebaliknya bila kondisinya tidak demikian, alias keluarga-keluarga dalam keadaan kacau, ruwet dan amburadul, maka dapat dipastikan, keadaan bangsa juga sedang bermasalah.
Keluarga ideal sesungguhnya adalah keluarga yang adem ayem, harmonis dan dipenuhi kebahagiaan. Adem ayem karena didasari oleh cinta dan kasih sayang.
Harmonis karena hubungan antara suami-isteri, orang tua-anak terjalin erat dan saling mengisi. Bahagia karena harapan-harapan dari seluruh anggota keluarga dapat terpenuhi dan tercukupi.
Lalu pertanyaannya, bagaimana membina keluarga kita menjadi keluarga ideal, yang pada gilirannya dapat menjadikan bangsa kita kokoh dan kuat? Tiada cara lain untuk mewujudkan keluarga ideal sebagai berikut:
1. Membekali pendidikan agama yang cukup. Minimal anak diajari membaca al-Qur’an, dan diberi pengetahuan tentang fardlu ain, atau kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi selaku orang muslim. Ini adalah kewajiban orang tua.
Bila tidak mampu, sepatutnya orangtua menyerahkan pendidikan anak kepada guru atau atau ustadz atau kiai yang mampu melakukannya. Ini seperti perintah al-Qur’an dalam Surat at-Tahrim (66) ayat 6:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…” (QS. at-Tahrim [66]: 6)
Tentu tidak cukup sekedar anak diberi tahu, tetapi orang tua wajib terus merawat, mengingatkan dan mensupervisi kebenaran akidah, pengamalan ibadah dan adab atau etika keseharian anak.
2. Hendaknya orang tua menjadi panutan atau role model bagi anak, baik dalam perilaku keseharian, pengamalan ajaran keagamaan, maupun kehidupan sosial kemasyarakatan.
Bila orang tua menyuruh anak jamaah ke masjid, sudah barang tentu karena orang tua juga berangkat ke masjid.
Bapak yang melarang anaknya merokok, tentu karena bapak tidak merokok.
Ibnur Rumi dalam sebuah syairnya berdendang:
ومن قلّة الإنصاف أنّك تبتغي ال ٠ مُهَذَّبَالد نيا ولَسْتَ المهذَّب
Artinya : “Antara hal yang aneh adalah Anda menginginkan anak yang terdidik dalam kehidupannya di dunia, sementara Anda sendiri tidak terdidik.”
3. Senantiasa mendoakan anak agar diberi kemudahan, kelancaran dan kesuksesan dalam segala usaha, dan kebaikan dalam perilaku dan pergaulannya.
Terlebih jika doa-doa itu disertai dengan laku tirakat seperti orang Jawa, atau riyadlah dalam istilah pesantren, yang maksudnya adalah melakukan ritual tertentu dalam bentuk olah raga dan olah jiwa, untuk menggapai sesuatu dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Seperti melakukan puasa Senin Kamis, shalat malam, atau membaca al-Qur’an, sebagai wasilah atau perantaraan, yang kebaikannya dihadiahkan kepada sang anak. Allah berfirman dalam surat al-Ma’idah (5) ayat 35:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ٣٥
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah wasilah (jalan untuk mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.” (QS. al-Ma’idah [5]: 35)
Upaya-upaya tersebut bila dilakukan oleh orang tua tentu akan menjadikan hubungan batin yang dekat dan erat antara anak dan orang tua. Kadang orang tua sudah berusaha mendidik sedemikian rupa, tetap saja anak susah mengerti, acuh dan bahkan ngeyel.
Menghadapi hal seperti ini, sepatutnya orang tua mengadu kepada Allah yang menciptakannya, dengan harapan Allah akan memberi keputusan yang terbaik pada anak tersebut.
Ibaratnya, keris atau tombak yang merupakan benda mati saja, sebab dimintakan “ampuh atau sakti” oleh sang empu pembuatnya kepada Allah Ta’ala, bila diperintah untuk “Berdiri!”, maka keris akan berdiri sendiri.
Bukan sebab ada khadam atau penunggunya, tapi karena kuasa yang diberikan Allah hasil dari riyadlah atau tirakat empu pembuatnya.
Kiranya demikian halnya bila kita meminta kepada Allah apa saja yang kita minta, termasuk agar anak-anak kita diberi kecerdasan, ketaatan, kesuksesan dan lain-lainnya yang dengan riyadlah itu, ketika kita minta agar anak “berdiri, atau ngaji, atau jama’ah”, dia akan segera melaksanakan apa yang kita perintahkan, di samping karena sadar bahwa yang memerintah adalah orang tuanya, juga karena dia merasa didorong oleh “kekuatan gaib” yang mungkin tidak disadarinya.
Dengan tiga hal tersebut, kiranya kita boleh berharap, keluarga-keluarga kita akan diberikan ketentraman, keharmonisan dan kebahagiaan. Dan pada gilirannya, bangsa kita akan menjadi bangsa yang kuat dan selamat, negeri yang aman dan diberkahi dengan berlimpah rejeki:
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Jamaah Jum’at rahimakumullah.
Demikian khutbah ini disampaikan, semoga dapat dipahami dengan baik. Dan semoga kita senantiasa dimudahkan oleh Allah Ta’ala dalam melaksanakan semua ajaran agama-Nya, amin. [Cms]
Sumber: Istiqlal.or.id