KETENTUAN jatuhnya talak dalam hubungan suami istri telah diatur dalam syari’at Islam. Setiap pasangan perlu memahami aturan tersebut dengan benar agar tidak terjadi pelanggaran dalam rumah tangganya.
Talak termasuk salah satu perkara yang jika diucapkan dengan serius maka menjadi berlaku dan jika diucapkan dengan gurauan maka akan berlaku pula, demikian disampaikan oleh Ustaz Rusydi Helmi dalam Kajian Ladies Talk yang digelar Hijabersmom Community Bekasi. (Rabu, 07/06/2023)
Hal ini tertera dalam sabdah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
“عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “ثلاث جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النكاح، والطلاق، والرَّجْعَةُ”
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga perkara, seriusnya adalah serius, dan candanya adalah serius, yaitu; nikah, perceraian, dan rujuk (membatalkan perceraian).”
Oleh karena itu talak tidak boleh dijadikan sebagai bahan candaan bagi pasangan suami istri.
Baca Juga: Mengucap Talak karena Marah
Ketentuan Jatuhnya Talak Suami Istri Menurut Syariat Islam
Selain itu talak merupakan hak seorang suami, maka jika ia hendak mentalak istrinya hendaklah memperhatikan waktu-waktu yang diperbolehkan sembari memperhitungkan masa iddah yang akan dijalani oleh sang istri.
Ustaz Rusydi mengatakan bahwa talak hendaknya diucapkan saat istri dalam keadaan suci dari haid dan keduanya belum melakukan hubungan badan.
“Sebaliknya, talak yang diucapkan dalam keadaan istri sedang haid tidak diperbolehkan, disebut dengan ‘thalaq bid’ah’.” terangnya.
Syariat ini ditetapkan agar istri siap menghadapi masa iddah setelah jatuh talak. Masa iddah merupakan masa tunggu seorang wanita setelah diceraikan oleh suaminya.
Masa iddah bagi wanita yang ditalak sebanyak tiga kali quru’ atau tiga kali bersih dari haid. Masa bersih pertama terhitung setelah sang istri haid kembali sesudah ditalak, bukan saat jatuhnya talak itu sendiri.
Dalam surah At-Thalaq ayat 1, Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا۟ ٱلْعِدَّةَ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُۥ ۚ لَا تَدْرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
Artinya:“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”
Dalam massa tunggu atau masa iddah ini, istri tidak boleh keluar dari rumah yang ditinggali bersama suaminya kecuali untuk urusan yang sangat mendesak.
“Dan perempuan-perempuan yang telah ditalak tidak boleh keluar dari rumah yang ditinggali bersama suaminya, meskipun suaminya mengizinkan, kecuali untuk suatu hajat yang darurat,” ucap Ustaz Rusydi.
Ia melanjutkan, “Perempuan bisa diusir dari rumah ketika ia sudah melakukan perbuatan fahisyah yaitu kejahatan yang sangat berat seperti perzinahan atau pembunuhan.”
Aturan ini berlaku untuk semua jenis talak, baik thalaq raji’i yaitu talak yang masih ada kesempatan untuk ruju’ sepanjang massa iddah maupun thalaq ba’in yaitu talak yang telah habis massa iddahnya.
Dalam surah At-Thalaq ayat 2, Allah berfirman:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا۟ ذَوَىْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِۦ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مَخْرَجًا
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
Pada ayat di atas, Ustaz Rusydi juga menjelaskan bahwa pentingnya kesaksian dalam talak, “Asyhiduu (persaksikanlah) yang dimaksud bukan saat talak diucapkan oleh suami namun saat disampaikan kepada keluarganya atau pihak-pihak lain yang perlu mengetahui permasalah ini.”
Persaksian ini, menurut mayoritas ulama pakar fiqih, jika tidak dilakukan maka tidak sah. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Fikih Wanita karya Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah:
“Jumhur Fuqaha, baik salah maupun khalaf (tradisional dan modern) berpendapat, bahwa thalak itu tidak sah tanpa adanya saksi.”
Adanya persaksian ini juga berlaku saat suami istri memutuskan untuk ruju’, “Yang dipersaksikan bukan hanya cerainya namun juga ruju’nya,” jelas Ustaz Rusydi.
Demikianlah ketetapan Allah untuk kemaslahatan hamba-Nya, bahwa syariat adanya masa iddah menjadi kesempatan bagi suami istri kembali kepada kehidupan rumah tangga, dan untuk mengetahui adanya kehamilan atau tidak pada istri yang diceraikan.
“Mungkin setelah perceraian akan ada rasa cinta yang tumbuh kembali, atau dikaruniai seorang anak,” tutur Ustaz Rusydi.