NARASI kemenangan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan diulas oleh alumni Universitas Marmara-Istanbul Turki (1998–2000) Dr. Ade Solihat, M.A.
Pemilu Turki, 14 Mei 2023, telah menjawab berbagai diskusi, polemik, dan spekulasi tentang siapa yang memperoleh tingkat pemilih tertinggi.
Takdir presiden Turki terpilih ditentukan pada 28 Mei 2023, yaitu waktu pelaksanaan Pemilu Presiden yang telah dijadwalkan oleh Yuksek Seçim Kurulu (Komite Pemilihan Umum).
Tulisan ini mencoba menampilkan pandangan kedua kandidat yang bertarung pada 28 Mei 2023.
Bagi Recep Tayyip Erdogan, sebagai petahana yang sudah dua kali terpilih sebagai Presiden Turki dengan satu kali putaran, ini merupakan pengalaman pertama menghadapi pemilu dua putaran.
Pada pemilu 2014, yaitu pemilu presiden yang pertama kali berdasarkan pemilihan langsung, Erdogan berhasil mengantongi 51,8% suara.
Meskipun hasilnya tidak terlalu jauh dari margin batas syarat pemilu satu putaran, tetapi jelas ini memperlihatkan Erdogan didukung oleh lebih dari separuh warga pemilih Turki.
Baca Juga: Kemenangan Erdogan dan Tantangan Regenerasi Kepemimpinan di Turkiye
Membaca Narasi Kemenangan Presiden Turki
Kita sejenak menengok sejarah politik Turki.
Sejak diumumkan berdirinya negara Republik Turki pada 29 Oktober 1923 untuk menggantikan Kesultanan Turki Osmani yang secara resmi dinyatakan bubar oleh Majelis Agung Nasional Turki pada 1 November 1923, pemerintahan dijalankan dengan sistem parlementer.
Dalam sistem parlementer, perdana menteri adalah pemegang pimpinan tertinggi kabinet atau pemerintahan. Adapun presiden ditempatkan sebagai pemimpin dan simbol negara.
Presiden dipilih oleh majelis di parlemen, sehingga jumlah perwakilan partai yang berada di parlemen akan mempengaruhi siapa presiden yang terpilih.
Pada awalnya, baik Mustafa Kemal Ataturk, presiden pertama, maupun Ismet Inonu, presiden kedua, sama-sama pemimpin partai, yaitu partai CHP.
Perdana Menteri Turki pertama dijabat oleh Ismet Inonu, dan presiden pertama dijabat oleh Mustafa Kemal Ataturk.
Antara tahun 1923 sampai dengan 1945, Partai Rakyat Republik (CHP) merupakan satu-satunya partai politik.
Dominasi CHP di parlemen telah memberikan suara 100% keterpilihan Mustafa Kemal Ataturk sebagai presiden dalam empat kali pemilu 1923, 1927, 1931, 1935.
Takdir yang menghentikan kepemimpinan Ataturk (meninggal pada 10 November 1938).
Sejak adanya perubahan konstitusi yang terjadi pada tahun 1960, Republik Turki memulai era dipisahkannya jabatan presiden dari jabatan kepala partai politik.
Sebagai simbol negara dan untuk menjaga kenetralan, seorang presiden harus mengundurkan diri dari jabatan politik sebagai ketua partai.
CHP sebagai partai tertua yang didirikan di Turki, perlahan-lahan ditinggalkan, karena nafas demokrasi di Turki semakin menuntut ditinggalkannya dominasi satu partai.
Sampai pada tahun 2014, setelah terjadi referendum konstitusi 2007, Turki menerapkan pemilihan presiden secara langsung.
Erdogan menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat pada pemilu 10 Agustus 2014. Erdogan yang terpilih sebagai presiden, ketika itu juga menjadi ketua partai yang didirikannya.
Mengikuti ketentuan konstitusi, Erdogan menyerahkan kepemimpinan AKP kepada sahabat politiknya, Ahmet Davutoglu yang kemudian menjadi perdana menteri Turki, jabatan yang telah dijalankan oleh Erdogan selama tiga periode.
Kemenangan mutlak AKP telah memungkinkan Erdogan mengatur posisi-posisi penting di Turki.
Demikian juga usulan Erdogan untuk mengganti sistem parlementer menjadi presidensial, terlaksana dengan mulus melalui referendum yang menghasilkan amandemen konstitusi 201.
Referendum 2017 telah mengubah sistem pemerintahan parlementer menjadi sistem presidensial.
Erdogan menjadi presiden pertama, yang memegang pimpinan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sejak saat itu, tidak ada lagi jabatan perdana menteri, karena tugasnya telah dialihkan kepada presiden.
Pada Pemilu 2018 dengan mengantongi suara 52,59%, Erdogan menjadi presiden pertama negara Republik Turki di dalam sistem presidensial.
Erdogan telah menjabat presiden dalam dua periode (2014–2018 dan 2018–2023) dan masih belum ingin melepaskannya untuk periode berikutnya.
Namun, pada pemilu 14 Mei 2023 lalu, rival politiknya dari CHP, Kemal Kilicdaroglu memperlihatkan penguatan dukungan suara dan berhasil membawa pemilu ke putaran kedua.
Sejak pengumuman hasil sementara pemilu disampaikan oleh ketua YSK, perhitungan yang berhenti pada kondisi tidak ada satupun yang memenangkan 50% + 1 suara, memastikan pemilu presiden akan diadakan kembali pada 28 Mei 2023.
Lalu, bagaimana kedua kandidat presiden Turki periode 2023–2028 ini mengapresiasi pencapaian masing-masing?
Presiden Recep Tayyip Erdoğan, dalam sebuah postingan di akun media sosialnya, menyatakan bahwa pemilu 14 Mei yang baru selesai dengan lancar merupakan pesta besar demokrasi di negara Turki.
Pemilu yang berlangsung dengan damai dan tenang merupakan fakta ekspresi kedewasaan demokrasi Turki. Erdogan juga mengapresiasi peristiwa pemilu dengan tingkat partisipasi tertinggi dalam sejarah demokrasi Turki.
Presiden Erdoğan menyampaikan ungkapan terima kasih kepada seluruh warga yang telah mengamankan jalannya pemilu.
“Itu semua adalah bentuk cinta, semangat, dan kesetiaan warga terhadap demokrasi di Turki,” demikian pidatonya.
Selanjutnya, Erdogan menyampaikan, pemenangnya adalah negara kita, bangsa kita, melebihi angka-angka yang akan ditunjukkan oleh tabel pemilihan.
Turki telah membuktikan sekali lagi sebagai salah satu negara demokrasi terkemuka di dunia, dengan komitmennya pada keunggulan kehendak nasional, dan kebebasan warganya dalam pilihan politik mereka.
Hal ini terlihat dalam persentase partisipasi pemilu. Kita telah menunjukkan pemilu dengan rekor tingkat partisipasi tertinggi di dunia.
Kita memiliki salah satu pemilu dengan jumlah pemilih tertinggi dalam sejarah pemilu di Turki. Kita telah menunjukkan fakta pemilu yang damai dan mencerminkan pilihan bangsa kita ke kotak suara.
Baca Juga: Erdogan di Antara Rusia dan Ukraina
Lalu, bagaimana Kemal Kılıçdaroğlu menyampaikan pandangannya atas hasil pemilu 14 Mei lalu?
Bagi Kemal Kılıçdaroğlu dari partai CHP, meskipun tidak mengungguli perolehan suara dari Recep Tayyip Erdoğan, hasil itu menjadi prestasi dalam menahan petahana dan membuat pemilu menjadi dua putaran.
Sejak dua pemilu 2014 dan 2018, CHP membayangi kemenangan partai AKP.
Nampaknya, CHP mampu membuka ruang bagi para loyalis Kemalis dan juga kelompok-kelompok yang tidak bersetuju dengan berbagai perubahan yang dijalankan oleh AKP.
Berikut adalah cuitan Kemal Kilicdaroglu, yang terkenal bersuara lembut, di twiter-nya,
“Dear People, kita telah bekerja tanpa henti sejak kemarin. Jangan putus asa. Saya akan berdiri tegak. Saya akan memberi tahu pengamatan saya yang jelas tentang apa yang terjadi.
Kemudian kita akan berdiri dan memenangkan pemilihan ini bersama-sama. Akhir dari semua ini adalah apa yang menjadi suara rakyat.”
Tentu saja, bagi Kılıçdaroğlu, dengan pengalaman dua kali pemilu 2014 dan 2018 berada di bawah pemenangan suara AK Parti, kondisi perolehan suara yang sekarang ini merupakan prestasi.
Dengan berhasil menahan suara pendukung Erdogan, pemilu dilanjutkan ke putaran kedua.
Kesempatan ini juga merupakan kesempatan terakhir bagi Kemal Kilicdaroglu, yang berusia 74 tahun, untuk memajukan dirinya menghalang kelanjutan dominasi Erdogan yang tak terkalahkan sepanjang dua dekade (2002–2022).
Setiap kondisi dan potensi yang dimiliki oleh dua kandidat ini memang dapat dimaknai secara subjektif untuk kemenangan masing-masing.
Keberpihakan media luar negeri yang dengan terang-terangan mendukung Kemal Kilicdaroglu, bisa jadi dibaca oleh masyarakat Turki sebagai intervensi Barat.
Hal ini malahan akan mengarahkan nasionalisme warga Turki mendukung Erdogan, yang sering dengan gagah menunjukkan sikap “tidak mau diatur oleh Barat/Amerika Serikat”.
Kondisi kemenangan Erdogan di Pemilu 2023, juga memperlihatkan kuatnya Erdogan mempertahankan suaranya, padahal situasi dan kondisi ekonomi di periode kedua masa kepresidenannya ini, Turki mengalami krisis ekonomi yang sangat buruk.
Inflasi di dalam negeri yang sebesar 20,3% pada 2018, meroket pada 2022 hingga 84,39%, meskipun kembali menurun menjadi 64% pada akhir 2022, tingginya utang negara,
banyaknya usaha kelas besar maupun kecil yang mengalami kebangkrutan, juga pengangguran meningkat, telah membawa Turki pada kondisi ekonomi terburuk sepanjang sejarah.
Kondisi ekonomi yang buruk ini dijadikan peluang oleh Kilicdaroglu untuk meyakinkan rakyat Turki agar mendukungnya dengan menjanjikan perubahan kebijakan ekonomi yang akan mengeluarkan Turki dari situasi krisis ekonomi ini.
Kilicdaroglu juga berencana mengembalikan sistem presidensial menjadi parlementer, seperti pada awal negara Republik Turki didirikan, untuk mengurangi otoritas kekuasaan pada satu tangan.
Namun, kenyataan masih belum bisanya Kılıçdaroğlu mengungguli perolehan suara Erdogan, bahkan sejak dua periode pemilu sebelumnya, membuat dinamika menjelang pemilu putaran kedua menarik untuk terus diikuti.
Saya setuju, pemilu di Turki adalah sebuah pesta demokrasi yang perlu diapresiasi.
Keterlibatan warga yang datang ke kotak suara dan narasi optimis yang dibangun oleh dua kandidat memperlihatkan kedewasaan warga negara Turki dalam menjalankan demokrasi.
Siapapun yang akan memenangkan pemilu, sejatinya memenangkan suara rakyat.[ind]
Penulis: Dr. Ade Solihat, M.A. adalah pengajar di Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) dan Pascasarjana Timur Tengah dan Islam (PSTTI) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia.