PUASA itu menahan nafsu. Puasa itu menahan emosi. Puasa itu melepas kekikiran. Puasa itu meningkatkan level seorang mukmin.
Ada pertanyaan yang mungkin dilontarkan anak-anak kita tentang puasa. Supaya kenapa sih kita berpuasa?
Tentu jawabannya bukan supaya kita tidak kegemukan. Bukan pula supaya kita memiliki fisik yang lebih kuat. Bukan juga supaya beras dan makanan kita menjadi lebih irit.
Tentu bukan itu semua. Allah jelaskan dalam firman-Nya, “La’allakum tattaqun.” Suapaya kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bertakwa.
Kalau kita cermati sebagian perjalanan puasa kita, rasanya biasa-biasa saja. Di banding dengan target takwa yang Allah sebutkan, rasanya perolehan target puasa kita masih sangat jauh.
Kita seperti masih sibuk berkutat dengan soal daya tahan tubuh, dengan kesehatan di saat berpuasa, dan soal persiapan Lebaran.
Lalu tentang takwanya di mana? Hampir satu bulan berpuasa, tapi irisannya masih tentang urusan dunia dan duniai lagi.
Di penghujung durasi puasa ini, kita seperti merasa terjebak dalam kerumitan urusan kita sendiri. Tentang pulang kampung, tentang kue Lebaran, tentang busana yang cocok, dan lainnya.
Rasanya, Islam tidak mensyariatkan puasa untuk kerumitan-kerumitan itu. Dan target takwa sulit bisa bertemu dengan urusan pulang kampung, kue, baju, dan lainnya.
Meskipun, semua itu tidak dilarang sebagai penghias romantisme Ramadan dan Idul Fitri. Tapi, esensinya bukan di situ. Dan sayangnya, esesnsi itu kini mulai terserobot dengan hal romantisme tadi.
Kalau kita cermati ayat-ayat tentang puasa Ramadan, ujung puasa Ramadan justru lebih mengkristal pada kemantapan iman, ibadah, dan infak kita.
Dengan kata lain, takwa termanifestasi dalam kedekatan kita kepada Allah yang semakin akhir Ramadan, hubungannya semakin dekat dan mesra.
Di situlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyunnahkan kita dengan program i’tikaf yang isinya mengisolasi diri dari urusan duniawi kepada semata-mata urusan ibadah.
Di penghujung Ramadan, kita menjadi seperti tidak lagi berjarak dengan Allah Yang Maha Kasih dan Sayang. Yang Kasih dan Sayangnya tidak pernah terbilang.
Tak ubahnya seperti fase kehidupan ulat yang menjijikkan mengalami metamorfosis menjadi kupu-kupu yang cantik. I’tikaf bisa dibilang sebagai fase kepompong untuk menumbuhkan organ-organ cantik menjadi kupu-kupu yang indah.
Sepuluh hari terakhir Ramadan ini memang selalu berhadapan dengan seribu satu romantisme tadi. Tentang pulang kampung, tentang kue Lebaran, tentang baju dan aksesoris, dan lainnya.
Kalau tidak bisa semua hari di sepuluh hari itu, kenapa tidak kita ambil sebagiannya. Sebagian jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Dan bukan hanya dunia fisik kita yang diisolasi dari urusan dunia, dunia hati jauh lebih penting lagi.
Nikmatilah berada di masjid sebagai tempat paling agung di bumi ini.Insya Allah, di situ kita akan meraih target takwa kita. [Mh]