MEMAHAMI perintah puasa bagi orang beriman agar ibadah puasa tidak terasa berat dijelaskan oleh Ustaz K.H. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc.
Allah Subhanahu wa taala berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَا مُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat singkat ini menjelaskan cara Allah dalam menetapkan syariat (tasyri’) puasa dan syariat-syariat lainnya, karena cara penetapan syariat puasa ini mewakili cara Allah Subhanahu wa taala dalam menetapkan semua syariat-Nya.
Sebelum menyampaikan hukum dan syariat-Nya, Allah Subhanahu wa taala melakukan beberapa pendekatan untuk mengondisikan jiwa agar menerimanya dengan ridha.
Di antaranya pendekatan iman, pendekatan sejarah, pendekatan bahasa dan lainnya.
Pertama, Allah Subhanahu wa taala menyeru orang-orang yang beriman dengan seruan iman:
“يا ايها الذين امنوا “.
Panggilan sayang dari Allah Subhanahu wa taala kepada orang-orang beriman di awal ayat ini, sebelum menyampaikan kewajiban,
dimaksudkan untuk mengajak orang-orang beriman tersebut agar merespon kewajiban yang akan disampaikan itu dengan iman atau sebagai konsekuensi dari keimanannya.
Orang yang beriman pasti merespon kewajiban Allah Subhanahu wa taala dengan “sami’na wa atha’na”, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain:
اِنَّمَا كَا نَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذَا دُعُوْۤا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَاَ طَعْنَا ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, Kami mendengar, dan kami taat.
Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51)
Baca Juga: Al-Baqarah Ayat 184, Musafir Boleh Tidak Berpuasa
Memahami Perintah Puasa bagi Orang Beriman agar Puasa Tidak Terasa Berat
Ucapan dan respon “kami mendengar dan kami taat” ini mengungkapkan ketulusan dan kepatuhan sehingga membuat jiwa merasa ringan bahkan senang dalam melaksanakan kewajiban.
وَمَا كَا نَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗۤ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Konsekuensi keimanan yang diungkapkan oleh ayat inilah yang ingin diingatkan Allah Subhanahu wa taala melalui panggilan di awal ayat puasa di atas, “wahai orang-orang beriman”, sebagai landasan dalam merespon syariat yang ditetapkan.
Landasan iman dalam merespon suatu kewajiban memberikan kekuatan kepada jiwa untuk menghadapi berbagai kewajiban yang terasa berat sehingga terasa ringan.
Apalagi sekadar berpuasa di siang hari. Bahkan yang lebih berat dari hal itu pun jiwa yang telah dicelup dengan keimanan itu siap menghadapinya dengan enteng dan senang hati.
Ini bisa kita baca dalam kisah para tukang sihir Fir’aun.
Setelah para tukang sihir itu kalah dalam adu “ilmu” dengan Nabi Musa alaihis salam, mereka pun beriman.
Setelah mereka beriman, Fir’aun mengancam mereka dengan ancaman potong tangan dan kaki secara bersilang (QS. Thaha: 71), tetapi ancaman ini ditanggapi santai dengan menunjukkan kesiapan menerima segala resiko yang ada karena hal itu sudah menjadi bagian dari konsekuensi keimanan.
قَا لُوْا لَنْ نُّؤْثِرَكَ عَلٰى مَا جَآءَنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَا لَّذِيْ فَطَرَنَا فَا قْضِ مَاۤ اَنْتَ قَا ضٍ ۗ اِنَّمَا تَقْضِيْ هٰذِهِ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا
“Mereka (para pesihir) berkata, Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami.
Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini.” (QS. Ta-Ha: 72)
اِنَّاۤ اٰمَنَّا بِرَبِّنَا لِيَـغْفِرَ لَـنَا خَطٰيٰنَا وَمَاۤ اَكْرَهْتَـنَا عَلَيْهِ مِنَ السِّحْرِ ۗ وَا للّٰهُ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى
“Kami benar-benar telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah engkau paksakan kepada kami.
Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (QS. Ta-Ha: 73)
Karena itu, mengingatkan aspek keimanan di awal ayat puasa ini, sebelum menyampaikan kewajiban, menjadi sesuatu yang sangat diperlukan dan sangat tepat sebagai pengondisian jiwa untuk bisa menerimanya dengan senang hati.
Demikian pula yang dilakukan Allah Subhanahu wa taala di ayat-ayat lainnya sebelum menyampaikan berbagai kewajiban.
Ini termasuk salah satu kemukjizatan al-Quran sekaligus menunjukkan kasih sayang Allah Subhanahu wa taala kepada orang-orang beriman. Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Bukhari)
Menundukkan jiwa dengan iman menjadi cara paling efektif untuk mau menerima hukum-hukum dan syariat Allah Subhanahu wa taala dengan ridha, senang dan mantap.
Bila jiwa sudah tunduk mengikuti iman maka ia menjadi energi dan kekuatan untuk melaksanakan kewajiban tanpa merasa berat. Bahkan tidak mau ditukar dengan apa pun.[ind]
(Bersambung)