TULISAN Journey to Egypt dari Uttiek M. Panji Astuti harus berakhir hari ini (23/03/2023) karena telah memasuki bulan suci Ramadan. Ma’assalamah wa marhaban Ramadhan.
Dari tulisan penutupnya, Uttiek berjanji akan membagikan cerita selengkapnya mengenai Mesir dan Daulah Mamluk dalam buku terbarunya.
Nantikan catatan perjalanan selengkapnya yang akan membahas tentang kebesaran Daulah Mamluk dan kemenangan Perang Salib yang dimulai dari Mesir di buku terbaru saya ya.
Di setiap buku, saya selalu memungkasinya dengan tulisan tentang orang-orang baik yang Allah pertemukan di sepanjang perjalanan yang memberi warna pada kehidupan.
Awalnya, saya merasa langkah saya ke Mesir kali ini tak seringan biasanya. Karena ini adalah perjalanan pertama penulisan buku tanpa almarhum Lambang.
Dan ini adalah perjalanan saya kedua ke Mesir yang sebelumnya saya lakukan bersamanya. Pastilah akan muncul banyak jejaknya di sepanjang perjalanan.
“Aku hari ini jadi ahbab-nya Mb Uttiek,” serunya dengan tawa riang.
Saya tertawa mendengarnya, ahbab artinya semacam “loyalis”. Gadis mungil itu adalah Fildza, mahasiswa tingkat akhir Universitas Al Azhar, Kairo.
Bersama Elan, ketua Lazismu Mesir, mereka berdua menjadi fotografer dan videografer untuk buku dan series terbaru saya yang insyaAllah akan dirilis tahun ini.
Keduanya benar-benar kreatif. Saya dibuatkan foto-foto indah dengan permainan cahaya yang cantik di bangunan-bangunan tua yang sarat jejak sejarah kejayaan Islam.
Lalu ada Omair, mahasiswa S2 jurusan Tafsir, sekaligus mantan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Mesir periode 2020-2022, yang paling banyak saya repotkan untuk semua rangkaian agenda saya selama di Mesir.
“Mbak, kanal ini sudah tidak ketemu lagi saya cari di Gmap. Apakah ada nama lainnya?” tanyanya sungguh-sungguh.
Ada lebih dari 25 tempat yang harus saya kunjungi untuk riset penulisan buku Daulah Mamluk. Tidak semua masih dijadikan obyek wisata dan mudah ditemukan.
Lebih banyak yang telah menjadi puing sejarah. Seperti Bimaristan Muayyad yang untuk menuju tempatnya ternyata ada di belakang tempat pembuangan sampah kini.
Itu pun masih harus naik turun undakan, bertanya pada setiap orang yang kita temui, dan ketika akhirnya ditemukan, lokasi di sekitar tempat bersejarah itu tengah dihancurkan entah untuk proyek pembangunan apa.
Bersamanya saya merasakan naik bus nomer 80 coret. Bus paling legendaris bagi mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Al Azhar, Kairo. Ah, serunya!
Baca Juga: Alexandria, Kisah Cinta Mark Anthony dan Cleopatra
Journey to Egypt Berakhir
View this post on Instagram
Lalu ada Sholeh. Sesuai namanya, mahasiswa tingkat akhir ini benar-benar sholeh dan santun. Ia adalah “koki” andal yang masakannya dipujikan dengan hormat oleh teman-teman Muhammadiyah Mesir.
Saya sempat dimasakkan mie Medan yang luar biasa sedap dan sambal terasi yang lebih mantap dari sambal keluaran ayam goreng merk terkenal dari Jogja itu.
Bersama mereka, saya menyusuri jejak kejayaan Islam di bumi kinanah ini. Dari Kairo, El Mansoura, Fayyoum, hingga Alexandria.
Juga orang-orang baik, seperti Ibrahim anak penjaga apartemen tempat saya tinggal, yang selalu mau direpotkan dengan koper-koper besar saya.
Muhammad si penjual kacang di depan Cairo University. Penjual perabot di pasar Hay Asir yang tak sempat saya tanyakan namanya. Mustafa di pasar Khan El Khalili yang ramah.
Pengendara motor yang mau mengantarkan kami saat kesasar di tengah ladang tebu dan jagung dalam perjalanan ke Alexandria.
“Kalian orang asing. Harus berhati-hati lewat tengah ladang seperti ini. Bagaimana kalau ada yang membegal mobil kalian?” pesannya saat melihat kami bernafas lega karena kembali ke peradaban dan bertemu lalu-lalang kendaraan lagi.
Yusri, petugas museum di El Mansoura yang sangat detail menjelaskan tentang rumah tempat tertawannya Louis IX di perang Salib ke-7. Ali pemilik restoran yang mengeluarkan “semua isi restorannya” untuk kami.
Dan banyaaaak lagi….
“Mbak Uttiek tidak ingin menikmati Ramadan di Kairo?” tanya Sholeh yang seketika membuat saya sedih.
Saya ingin sekali menikmati Ramadan di Kairo. Shalat tarawih di Masjid Agung Al Azhar. Menikmati “jamuan Tuhan” di Maidaturrahman. Juga menyaksikan kerlip fanus yang menghiasi setiap sudut kota.
Untuk yang terakhir ini, Alhamdulillah Allah izinkan. Sepekan sebelum Ramadan, jalanan di kota Kairo telah berhias indahnya fanus atau lentera tradisional sebagai penanda Ramadan tiba.
Marhaban ya Ramadhan. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita.
Ma’asalamah Mesir dan orang-orang baik yang saya jumpai di sepanjang perjalanan.[ind]