SALAH satu dampak trauma pada individu, terutama anak-anak, adalah pada kemampuan untuk membangun hubungan interpersonal yang positif dan bermakna.
Konselor Keluarga Cahyadi Takariawan menjelaskan bahwa tokoh pengasuh atau orangtua merupakan jendela bagi anak untuk memandang dunia sebagai hal yang aman ataupun berbahaya.
Anak yang mengalami kejadian traumatis berupa kekerasan oleh tokoh pengasuh akan memandang dunia sebagai tempat yang berbahaya.
Oleh karena itu, anak yang memiliki pengalaman traumatis cenderung bersikap curiga pada orang-orang di sekitar mereka dan mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan sosial ataupun hubungan romantis.
Selain dampak pada kognisi, kejadian traumatis juga memiliki dampak terhadap fisiologi individu.
Ketika berhadapan dengan situasi yang mengingatkan mereka pada kejadian traumatis, individu dapat menunjukkan nafas yang tidak teratur, detak jantung berlebih, ataupun mengalami dampak psikosomatis seperti sakit perut dan kepala. (Kolk, Roth, Pelcovitz, & Mandel, 1993).
Anak dengan sejarah kejadian trauma yang kompleks dapat dengan mudah terpancing dan mengeluarkan reaksi berlebih akan stimulus-stimulus yang umumnya tidak berbahaya.
Anak tersebut juga akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya (misal sulit menenangkan diri ketika marah) dan seringkali bertindak secara impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya.
Baca Juga: Peran Amigdala pada Penderita Trauma
Dampak Trauma pada Anak
Oleh karena itu, anak yang mengalami trauma dapat berperilaku secara tidak terduga dan ekstrem. Ia dapat bersikap agresif atau malah bersikap kaku dan penurut secara tidak wajar. (American Psychiatric Association, 2013).
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa anak yang hidup dalam lingkungan traumatis, seperti orangtua yang abusive, dan secara terus menerus berhadapan dengan stres akan mengalami gangguan dalam perkembangannya.
Daya tahan tubuh, sistem otak, dan jaringan saraf pada anak tidak akan berkembang sempurna ketika ia beranjak dewasa. (Kaplan, Harold , Sadock, Benjamin, & Grebb, 1997).
Baca Juga: Trauma Jangan Dibiarkan, Kenali Penyebabnya
Perbedaan Dampak pada Laki-laki dan Perempuan
Sebuah penelitian yang dilakukan Stanford University School of Medicine menemukan perbedaan dampak trauma pada otak laki-laki dan perempuan.
Sama-sama mengalami trauma, perempuan lebih rentan mengalami gangguan stres pasca trauma (PTSD) daripada laki-laki.
Penelitian dilakukan dengan mengambil pemindaian otak melalui magnetic resonance imaging (MRI), melibatkan 59 peserta berusia 9-17 tahun.
Hasilnya, sekitar 8 % anak perempuan yang pernah mengalami kejadian traumatis akan mengalami PTSD saat tumbuh dewasa.
Sedangkan hanya 2 persen anak laki-laki yang juga mengalami kejadian traumatis yang akan mengalami PTSD di kemudian hari.
Melalui scan MRI terlihat perbedaan yang mencolok pada otak perempuan yang pernah mengalami trauma dengan otak laki-laki yang pernah mengalami trauma.
Perbedaan ini ditemukan di bagian otak bernama insula. Insula bertugas untuk memproses emosi, beradaptasi terhadap perubahan, dan berempati.
Bagian insula yang menunjukkan perbedaan yang paling menonjol dikenal sebagai sulkus sirkular anterior.
Beberapa gejala stres pasca trauma yang paling umum adalah munculnya flashback atau kilas balik dari kejadian traumatis yang dialami secara tiba-tiba atau kalau ada pemicu yang sangat mirip dengan traumanya.
Selain itu, orang dengan PTSD mengalami kesulitan menjalin relasi dengan orang terdekat, susah tidur, dan terus menerus merasa bersalah.[ind]
Sumber:
1. Jayne Leonard, What is Trauma? What to Know, https://www.medicalnewstoday. com, 3 Juni 2020
2. Kusmawati Hatta, Trauma dan Pemulihannya, Dakwah Ar-Raniry Press, Aceh, 2016