POLIGAMI hukumnya boleh. Bisa dua, tiga, dan empat. Tapi, coba pertimbangkan sekali lagi.
Islam memiliki solusi dalam semua hal. Termasuk dalam hal hubungan suami istri. Salah satunya, dengan melakukan poligami.
Ketika poligami dianggap sebagai solusi yang tepat, maka tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan lagi. Setidaknya, dengan hal-hal berikut ini.
Satu, apakah istri sudah tidak bisa secara wajar melayani suami dalam hubungan suami istri?
Ada kalanya istri tidak bisa melayani suami secara wajar dalam hal hubungan suami istri. Antara lain, karena istri sakit permanen seperti struk, lumpuh, gila, dan lainnya.
Hambatan-hambatan ini tentu menghalangi suami mendapatkan haknya. Karena itulah, perlu dicarikan solusi. Salah satunya dengan poligami.
Dalam proses mencari solusi itu, jika memungkinkan, menyertakan istri. Hal ini agar poligami tidak justru menjadi pukulan kedua setelah penderitaannya karena sakit.
Dua, Cinta itu Tak selalu Indah.
Ikatan suami istri tentu ada pada rasa cinta yang diikat dalam ridha Allah subhanahu wata’ala. Tapi, cinta tak selalu berwarna pink. Adakalanya merah, jingga, kuning, putih, bahkan hitam.
Artinya, dinamika cinta itu niscaya. Hal ini karena kita tinggal di dunia yang Allah sebut sebagai arena ujian. Termasuk ujian yang tidak enak: kesusahan, sakit, paceklik, dan lainnya.
Di situlah cinta berkubang. Ada saatnya bahagia dan tidak sedikit yang susah dan menderita.
Jadi, inilah hidup nyata di dunia. Jangan lari dari apa yang nyata di dunia ini. Jangan membayangkan bahwa cinta selalu dihiasi bunga-bunga. Dan ketika bunga-bunganya sudah layu, maka cari cinta lain yang masih segar bunganya.
Kesimpulan itu rasanya tidak adil. Ketika awalnya sama-sama memilih untuk bahagia. Kenapa akhirnya harus cari alternatif, untuk selalu tetap bahagia, tanpa peduli dengan romantisme masa lalu saat susah dan senang bersama.
Kalau ini yang menjadi pertimbangan, pahamilah bahwa tidak ada yang langgeng di dunia ini. Yang saat ini segar, suatu saat akan juga layu dan mati. Begitu pun dengan diri kita.
Kalau ada rasa tega membuang yang sudah layu untuk mencari kesegaran baru, jangan heran, jika suatu saat yang kini segar akan juga membuang kita di saat sudah layu.
Tiga, Harapan Cinta itu Kehidupan.
Kenapa orang yang sudah menikah tampak lebih bahagia dari para lajang? Jawabannya relatif. Tapi, yang paling mendekati adalah karena jiwanya sudah terisi harapan cinta. Harapan itulah yang menstimulasi seribu satu energi untuk bertarung melawan aneka ujian dunia.
Kalau suami istri bermuhasabah, mungkin mereka tidak percaya bisa mengarungi perjalanan yang begitu berat. Bisa mencari nafkah, bisa punya rumah, bisa punya kendaraan, dan tentu saja bisa menjadi ayah ibu yang bijak dan dewasa.
Bayangkan jika harapan cinta itu terputus tiba-tiba. Ada dua realitas yang berbeda antara pria dan wanita. Pria masih banyak peluang untuk melakukan ‘kreasi’ cinta baru. Tapi wanita?
Pada wanita melekat beban keluarga. Ia adalah ibu yang harus mengasuh anak-anak seumur hidupnya. Ia adalah wanita yang tidak mudah mencari nafkah. Ia adalah bunga yang perlu tangkai dan air segar.
Betapa tidak adilnya jika beban berat itu harus ia pikul demi kebahagiaan pihak lain yang bukan siapa-siapanya.
Empat, Wanita Indonesia itu Beda.
Ada kultur dan sosial yang umumnya melekat dalam setiap wanita Indonesia. Yaitu, ruh perjuangan dalam sebuah bahtera rumah tangga.
Di hampir semua desa dan daerah, wanita Indonesia tidak berada di garis belakang. Tidak hanya sibuk mengurus rambut yang kurang segar. Tidak sekadar mondar-mandir ke meja rias untuk memeriksa apakah bedak dan make up tetap indah sebagaimana awalnya.
Mereka ikut turun ke sawah, mencangkul, menanam padi, memikul pupuk, menyemai benih; setidaknya menyiapkan bekal untuk suami mereka.
Ada yang harus saling berkejaran dengan waktu di setiap pagi demi mengejar waktu absen pabrik. Dan, pulang malam karena jam kerja lembur.
Kalau pun mereka tinggal di rumah, jam kerjanya tidak berkurang. Justru menjadi dua puluh empat jam non stop.
Seorang istri yang di rumah saja berperan dengan multi job. Ia sebagai baby sitter, sebagai juru masak, sebagai tukang cuci, mengurus rumah, bahkan antar jemput anak.
Semua ia lakukan tanpa ada iming-iming gaji. Tanpa ada kalkulasi uang pensiun. Tanpa ada janji penghargaan dari pihak mana pun.
Menikah bagi mereka lebih karena sebagai lahan ibadah, daripada untuk sekadar bersenang-senang. Ia hanya berharap ridha Allah, dan ridha suami tercinta.
Ridha seorang suami yang juga mencintainya. Seorang suami yang selalu bersamanya di saat senang dan susah. Suami yang tidak lari dari kenyataan, ketika kenyataan melukisnya dalam sosok yang tidak lagi wangi dan menggiurkan.
Sekali lagi, ia hanya mengharapkan ridha Allah dan selalu bersama suami hingga akhir hayatnya.
Masih tetap ingin berpoligami, coba renungkan lagi! [Mh]