BUNDA, tahukah kamu, bahaya atau risiko penggunaan dot bagi bayi? Drg. Annisa Wiraprasti, IBCLC menjelaskan tentang risiko menggunakan dot bagi bayi.
Salah satu tantangan bagi seorang ibu dalam memberikan ASI adalah ketika dihadapkan pada pekerjaan atau dirawat terpisah dengan si bayi atau ketika salah satunya sakit.
Biasanya, dalam kondisi ini, tidak sedikit para ibu memilih dot untuk memberikan ASI pada bayinya. Padahal, penggunaan dot dalam waktu yang lama akan berpengaruh pada bayi.
“Selain bingung puting yang menyebabkan si bayi tidak mau menyusu langsung pada ibunya, dampak lainnya adalah maloklusi (pertumbuhan rahang yang tidak sejajar), karies atau gigi berlubang hingga diare,” jelas dokter lulusan universitas Trisakti ini.
Penggunaan dot, lanjut Annisa, membutuhkan air bersih dan higienitas yang harus diperhatikan.
“Sebuah riset menjelaskan, botol dot yang terbuat dari plastik akan melalui proses sterilisasi botol dengan menggunakan air panas, hal ini dapat melepas microplastik yang dapat memicu penyakit di masa mendatang,” ungkap dokter yang saat ini bekerja di RS Surya Medika di Pulau Sumbawa itu.
“Itulah sebabnya saya lebih merekomendasikan pemberian ASIP bagi wanita bekerja dengan menggunakan cup feeder atau sendok, karena lebih aman dan mudah dibersihkan,” tukas wanita yang telah dikaruniai tiga orang anak ini.
Annisa yang juga seorang konselor laktasi dalam komunitas pendukung ASI “Aku Cinta ASI” juga aktif menulis di blog pribadinya drgnanis.com.
Baca Juga: 5 Media Pemberian ASI Perah untuk Si Kecil, Tidak Termasuk Botol Dot
Risiko Penggunaan Dot bagi Bayi
Menutup tahun 2022, Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Cabang NTB kembali menggelar Workshop Relaktasi bagi Tenaga Kesehatan.
Kegiatan ini dilakukan secara hybrid yaitu melalui zoom meeting dan luring di Aula BKKBN Provinsi NTB, Ahad, 18 Desember 2022.
Pagelaran workshop ini sekaligus untuk merayakan hari jadi AIMI NTB ke–3 yang jatuh pada tanggal 1 Desember 2022.
Hadir sebagai keynote speaker adalah dr. Oetami Rusli, Sp. A, FABM, IBCLC (retired), seorang dokter spesialis anak dan konsultan laktasi bersertifikat internasional.
Menurut Oetami, menyusui bukan saja merupakan hak bayi, tetapi juga merupakan hak seorang ibu.
“Karena ibu yang menyusui anaknya secara langsung akan memberi dampak positif bagi kesehatan ibu dan bayi di masa depan,” jelas Oetami.
Ia kemudian menukil Al qur’an QS. Al Baqarah (233) tentang menyusui.
“Bahwa hendaklah ibu-ibu menyusui anaknya selama dua tahun, maka menyusui tidak sekadar memberi ASI tetapi berupaya menggapai ridho Ilahi,” jelas dokter jebolan FK Universitas Padjajaran Bandung.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam juga menjelaskan dalam sebuah hadis tentang menyusui.
”Janganlah seorang ibu menyusui hanya untuk kebutuhan bayinya, tetapi juga susuilah bayimu dengan niat mengharap ridho Allah,” tambahnya.
Ia melanjutkan, jika menyusui adalah ibadah, maka ketika kita membantu seorang ibu untuk berhasil menyusui bayinya, tentu pahalanya juga mengalir ke diri kita.
“Terutama buat adik-adik saya para nakes, yakinlah bahwa tugas Anda adalah tugas yang sangat mulia,” ungkap Oetami.
Sementara itu, Ketua Umum AIMI Pusat, Nia Umar, S. Sos, MKM, IBCLC, dengan gaya khasnya yang enerjik dan ceria, mengatakan bahwa kampanye sufor di Indonesia sangat masif.
“Di Indonesia, semua jenis susu tersedia, mulai dari yang baru lahir hingga yang manula. Kampanye mengonsumsi sufor ini dilakukan secara masif sehingga hedonik penggunaan sufor ini harus dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat,” kata Nia.
Ia menekankan kepada para nakes yang merupakan ujung tombak di tengah masyarakat dalam memberikan edukasi bagi ibu menyusui.
Wanita yang hobi olahraga ini menyampaikan apresiasi kepada AIMI NTB yang tanpa lelah terus mengeduk-ASI masyarakat NTB tentang pentingnya menyusui bagi ibu, bayi dan seluruh anggota keluarga.
“Terima kasih kepada para pengurus AIMI NTB telah berjuang menggelar acara hebat ini, semoga workshop ini memberi banyak manfaat bagi masyarakat NTB,” ungkapnya menutup sambutan.
Kegiatan workshop ini menampilkan tiga pemateri yang memiliki spesialiasi keilmuan yang tidak diragukan di bidangnya masing-masing.
Pemateri pertama adalah dr. Indri Hapsari, M. Sc, Sp. A seorang dokter spesialis anak sekaligus konselor laktasi menyampaikan materi tentang relaktasi bagi ibu.
Dokter yang bertugas di RSUD Tripat Gerung Lombok Barat ini menjelaskan bahwa relaktasi merupakan sebuah upaya agar bayi menyusu kembali ke payudara, setelah sebelumnya bayi pernah menyusu lalu berhenti.
Berhentinya bayi menyusu langsung ke ibunya dapat disebabkan oleh beberapa hal, papar dokter alumni FK UGM ini.
Pertama, berasal dari faktor bayi itu sendiri seperti bayi sakit dan dirawat terpisah dengan ibunya, pemberian ASI dengan menggunakan DOT sehingga menyebabkan bingung puting,
Kedua, bayi yang kesulitan menyusu sejak lahir karena diberikan susu tambahan oleh nakes atau fasyankes bersalin; dan dapat terjadi juga ketika terjadi bencana di suatu daerah.
Ketiga, faktor ibu sang bayi, seperti ketika si ibu sakit dan mengonsumsi obat yang merupakan pantangan bagi ibu menyusui, ibu bekerja, merasa ASI kurang cukup dan memberikan susu tambahan bagi bayinya, ibu mengalami bengkak payudara atau puting lecet sehingga mengalami kesulitan dalam menyusui,
Keempat, datang dari desakan atau kurangnya dukungan keluarga dalam memberi ASI.
Baca Juga: Risiko Bayi Menyusu Menggunakan Dot Botol
Peserta tidak hanya menerima teori tentang relaktasi, akan tetapi juga praktik relaktasi yang dipandu langsung oleh dr. Indri.
Sementara itu, Ketua AIMI NTB, Baiq Iin Rumintang, S.ST, M. Keb. memaparkan data dari Kementerian kesehatan bahwa 3-4 bayi dalam setiap 10 bayi di Indonesia yang menyusu langsung ke ibunya.
Menurut data Riskesdas (2018), Provinsi NTB merupakan daerah dengan jumlah menyusu terendah yaitu 20,3 persen.
“Sebagai seorang tenaga kesehatan, saya merasa terpanggil untuk membantu para ibu untuk memberi ASI pada bayinya, terlebih ketika saya mulai bergabung dengan ASI for Baby, komunitas ibu menyusui yang akhirnya bertransformasi menjadi AIMI NTB,” tutur wanita yang berprofesi sebagai dosen di jurusan kebidanan Poltekes Mataram ini.
Perempuan yang aktif sebagai konselor Laktasi ini mengungkapkan bahwa sebagai nakes, ia berkewajiban memberi edukasi untuk para ibu menyusui.
“Tetapi di AIMI NTB dari keseluruhan jumlah pengurusnnya, 75% adalah non nakes tetapi mereka tak pernah lelah kerja mengedukasi dan mendampingi para ibu-ibu yang ingin sukses menyusui dan dikerjakan secara sukarela alias volunteer,” tutur Iin.
Ia teringat pesan dr. Oetami yaitu jika kita membantu seorang ibu untuk menyusui, pada hakikatnya kita sudah membantu seluruh keluarga tersebut.
“Ibu dan bayi lebih sehat mental dan psikisnya dan tentunya dapat menghemat pengeluaran keluarga untuk membeli susu formula,” jelas Iin menutup materinya.[ind]
Laporan: Dian Sosianti Handayani