BAHAGIA itu relatif. Siapa pun bisa bahagia, kaya atau miskin, meski dengan kapasitas ala kadarnya.
Pernahkah melihat seorang bapak yang menarik gerobak dengan tangannya. Di dalam gerobak, duduk seorang ibu dan dua anaknya.
Setelah berada di tempat teduh, mereka pun membuka nasi bungkus pemberian Jumat berkah. Mereka makan bersama sambil sesekali tersenyum dan tertawa. Ya, bapak, ibu, dan dua balitanya tampak begitu bahagia.
**
Seorang ibu tani membawa nasi dan sedikit lauk, plus air di ceret. Setibanya di sebuah gubuk di tengah sawah, ia pun memanggil suaminya yang masih mencangkul.
“Kang, makan dulu!” teriaknya yang langsung disambut antusias suaminya.
Keduanya pun makan bersama. Makanan yang tersaji begitu sederhana: nasi, tempe dan tahu goreng, lalapan dan sambal. Tapi, mereka menikmati makan siang itu dengan sangat bahagia.
**
Sekelompok anak di desa sedang bermain dengan ban motor bekas. Setiap anak menggelindingkan satu ban dengan kendali sebatang kayu kecil. Kalau putaran ban melemah, batang kayu kecil itu pun dipukul-pukulkan ke ban. Dan ban pun kembali bergelinding kencang, sekencang lari-lari mereka.
Meski sangat sederhana, anak-anak itu sangat bahagia. Itulah sepertinya permainan paling istimewa yang mereka punya.
**
Ya, bahagia itu bisa dirasakan setiap orang di semua kalangan. Seperti halnya planet yang memiliki lintasan edarnya, setiap orang pun memiliki lintasan edar bahagianya.
Resep bahagia sebenarnya sangat bahagia. Nikmati lintasan edar bahagia kita.
Seorang ulama pernah memberikan nasihat, “Kunci nikmat atau bahagia itu adalah tidak ambil pusing dengan nikmat yang dimiliki orang lain.”
Berbahagialah dengan kenikmatan yang kita punya. Jangan pernah terobsesi dengan bahagia milik orang lain. [Mh]