LAKSAMANA Keumalahayati menjadi wajah pejuang wanita Nusantara, tampak dari gelar yang tersemat di depan namanya.
Wanita yang kini namanya terpampang sebagai jalan disalah satu akses masuk dari Jakarta Timur menuju Bekasi ini lahir di abad ke 16 M dan memiliki garis nasab Laksamana dan Sultan Aceh.
Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah dan kakek dari garis ayah juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah.
Tak hanya itu, kakek buyutnya, Sultan Salahuddin Syah, pernah memerintah kerajaan Aceh sekitar tahun 1530-1539 M.
Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putera dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Itulah mengapa semangat kebaharian atau kelautan menghujam dalam jiwa Laksamana Keumalahayati.
Sosok Keumalahayati ini juga menjadi bukti bagi kita, bahwa sejak lama bangsa kita telah mengangkat derajat perempuan, bahkan ini dilakukan oleh kerajaan Islam.
Pada saat Keumalahayati diangkat menjadi Komandan Prokotol Istana Darud-Dunia oleh Kerajaan Aceh, diangkat pula sosok wanita bernama Cut Limpah sebagai pemimpin rahasia istana.
Aceh yang kental dengan semangat keislaman, tempat para ulama nusantara menimba ilmu ini memengaruhi keberanian Keumalahayati di medan pertempuran.
Dalam perjalanannya, saat menjadi Laksamana, ia membawa senjata rencong melawan para penjajah Barat.
Senjata ini oleh ahli senjata dibuat dengan bentuk yang mengandung arti simbolik.
Bertuliskan Arab dengan singkatan dari huruf: Baa, Siin, Miim, Laam, dan Ha, kepanjangan dari kata “Bismillah.
Oleh karena itu bentuk ujung gagang rencong bengkok ke atas seperti ba’, bentuk huruf pertama dalam kata “Bismillah”.
Senjata rencong ini identik dengan semangat perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan serta menegakkan kebenaran.
Sejak anak-anak, Keumalahayati juga telah mulai belajar baca tulis Al-Qur’an dengan bantuan kedua orang tuanya.
Keumalahayati kemudian belajar ilmu agama dengan berguru kepada Tengku Jamaludin Lam Kra, seorang ulama dan sekaligus pemimpin pesantren putri di Banda Aceh.
Selanjutnya ia juga belajar di Dayah Inong (Madrasatul Banat) dan mulailah ia memperdalam ilmu fikih, akidah, akhlak dan bahasa Arab.
Selain itu, di rumah pun Keumalahayati masih menyempatkan diri belajar bahasa asing yang lain dari guru yang khusus didatangkan oleh orang tuanya.
Baca Juga: Tiga Pahlawan Wanita dari Tanah Minang untuk Indonesia
Di usai dewasa, Keumalahayati menimba ilmu di Akademi Militer bernama Mahad Baitul Makdis.
Akademi Militer ini merupakan pemberian Pemeritah Turki Utsmaniyah atas permintaan Sultan Aceh dalam rangka memperkuat dan membangun angkatan bersenjatanya baik darat maupun laut.
Pemerintah Turki mengirim bantuan tersebut sepaket dengan persenjataan, tenaga-tenaga ahli militer dan insinyur perkapalan.
Keumalahayati mengambil jurusan Laut di Akademi Militer tersebut hingga ia berhasil menjadi Perwira Tertinggi Angkatan Laut Aceh yang cerdas, gagah dan berani.
Keberanian dan kecerdasannya menarik perhatian Sultan yang menjabat masa itu, yaitu Sultan Alaiddin Riyat Syah Al-Mukammil (1589-1604)
Sang Sultan mengangkatnya menjadi laksamana kerajaan Aceh. Hal ini bermula setelah terjadinya pertempuran yang hebat antara Armada Laut Aceh dan Armada Portugis, yang dinamakan pertempuran Teluk Haru
Pertempuran yang dipimpin langsung oleh Sultan Al-Mukammil dengan dibantu oleh dua Laksamana. Salah satunya suami Keumalahayati.
Walaupun pertempuran tersebut berakhir dengan kemenangan di pihak Armada Laut Aceh. Namun, dua laksamana Aceh dan sekitar 1000 prajurit syahid sebagai pahlawan bangsa.
Banyaknya prajut yang gugur meninggalkan banyak pula wanita menyandang status janda.
Demikianpula kepergian sang suami di medan pertempuran itu, mengobarkan tekad Keumalahayati untuk meneruskan perjungannya melawan penjajah Portugis.
Dari sinilah Keumalahayati berinisiatif mengajukan permohonan kepada Sultan Al-Mukammil untuk membentuk sebuah Armada Aceh yang prajurit-prajuritnya adalah para wanita janda, dimana suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru.
Inong Balee adalah sebutan untuk Armada tersebut, dan berpangkal di Kraung Raya. Pada awal pembentukannya, armada ini memiliki kekuatan sekitar 1000 orang janda muda.
Namun, seiring berjalannya waktu kekuatannya berangsur semakin besar berjumlah 2000 orang yang tidak hanyak terdiri dari para janda namun juga gadis-gadis yang gagah berani.
Ide pembentukan Inong Balee ini muncul dengan semangat menuntut balas atas kematian suami mereka oleh penjajah Portugis dengan dipimpin langsung oleh Keumalahayati.
Karena keberhasilannya dalam memimpin pasukan wanita itulah Keumalahayati diangkat sebagai Laksamana Kerajaan Aceh.
Keberanian, ketangguhan, dan kehebatan Laksamana Keumalahayati semakin terlihat ketika ia harus berhadapan langsung dengan penjajah Belanda.
Dua buah kapal miliki Belanda Bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di Pelabuhan Ibu Kota Kerajaan Aceh pada tanggal 21 Juni 1599.
Awalnya kehadiran mereka yang dipimpin oleh dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman diterima dengan sewajarnya layaknya kapal dagang negara sahabat. Mereka diharapkan dapat membangun pasaran yang baik bagi hasil-hasil bumi Kerajaan Aceh, terutama lada.
Namun pada kelanjutannya, dua bersaudara itu mengkhianati kepercayaan Sultan. Mereka membuat manipulasi dagang, mengacau, menghasut, dan sebagainya.
Tiada ampun, Sultan langsung mengerahkan pasukannya untuk melakukan penyerangan kepada orang-orang Belanda.
Laksamana Keumalahayati dipilih memimpin pernyerangan itu bersama armada Inong Balee. Mereka menyerbu kapal-kapal Belanda yang menyamar sebagai kapal dagang.
Di tengah gejolak peperangan, terjadi pertempuran satu lawan satu yang berlansung di atas geladak kapal-kapal Belanda.
Cornelis de Houtman mati ditikam oleh Keumalahayati sendiri dengan rencongnya. Sementera Frederijk de Houtman ditawan.
Demikianlah Laksamana Keumalahayati atau yang lebih sering kita kenal dengan Laksamana Malahayati menorehkan tinta dalam lembaran sejarah sebagai sosok wanita pembela tanah air.
Kehadirannya juga mengukuhkan pemahaman kita bahwa Kerajaan Aceh yang kental dengan nilai-nilai keislamannya memberi kesempatan bagi para wanita untuk berkonstribusi dalam memajukan bangsa.
Bahkan di tahun-tahun setelahnya, tepatnya pada abad ke 17, lahir sosok ulama bernama Syekh Abdurrauf bin Ali al Fansuri al Singkeli yang mengeluarkan fatwa bahwa wanita boleh menjadi penguasa (Sultanah).
Sehingga tak heran jika selama puluhan tahun lamanya Aceh dipimpin oleh wanita.
Sumber:
- Wanita Utama Nusatara dalam Lintasan Sejarah
- Malahayati Srikandi dari Aceh oleh Solichin Salam
- Malahayati Singa Betina dari Aceh oleh Adi Perwara