ADA satu kata yang paling ampuh untuk dijadikan alasan. Dan satu kata itu pula dianggap sangat manusiawi. Kata itu adalah ‘lupa’.
Kata apa yang paling gampang diucapkan ketika kita lalai terhadap sesuatu. Misalnya, tidak menepati janji, tidak melaksanakan kewajiban, dan lainnya.
Kata yang paling gampang diucapkan untuk dijadikan sumber dari segala sumber alasan kelalaian, ketidakpatuhan, sembrono, dan lainnya; adalah lupa: “Maaf, saya lupa!”
Ketika kata itu diucapkan, orang yang lalai atau tidak menepati janji itu pun seolah bebas dari delik pelanggaran. “Ya namanya juga lupa, mau dibilang apa?” begitu kira-kira kesimpulannya.
Masalahnya, seberat apa kelalaian yang disebabkan oleh lupa itu. Jika lalai mematikan lampu, membawa masker, sarapan pagi, dan lainnya; mungkin bisa ditolerir. Namun jika masalah besar, dampaknya akan sangat merepotkan. Bahkan, bisa fatal.
Misalnya, seorang ibu yang lupa mematikan kompor ketika akan tidur. Seorang ayah yang lupa telah meninggalkan anaknya yang sedang tidur di dalam mobil, sementara seluruh jendela tertutup rapat. Dan masih banyak lagi.
Ada juga jenis lupa yang tingkat dampak buruknya bukan sekadar untuk diri pribadi dan keluarga. Tapi merugikan banyak orang.
Misalnya, seorang anggota legislatif yang lupa bahwa dirinya wakil rakyat. Ia seolah berjuang hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan keluarga.
Ada juga seorang pejabat yang lupa dengan sumpah yang ia ucapkan ketika menjabat. Semua sumpah itu terlupakan oleh seribu satu kepentingan pribadi dan kroninya.
Kenapa mereka bisa lupa? Karena setan telah membuatnya lupa. Bahasa Al-Qur’annya: fa-ansaahus syaithan. Maka setan membuatnya lupa.
Kata ini berkaitan dengan kisah dua pemuda yang menemui Nabi Yusuf alaihissalam saat dalam penjara. Keduanya menceritakan tentang mimpi yang dialami, lalu menanyakan ke Nabi Yusuf tentang artinya.
Salah seorang dari mereka diminta Nabi Yusuf untuk mengingatkan tuannya tentang keadaan Nabi Yusuf di penjara, setelah orang itu bebas dari penjara. Karena, Nabi Yusuf tidak bersalah. Tapi, ia lupa. Hal ini karena setan membuatnya lupa. (QS. 12: 42)
Imam Syafi’i juga pernah risau dengan lupa hafalannya. Gurunya memerintahkannya untuk meninggalkan maksiat. Dan maksiat itu seperti berakrab-akrab dengan setan. Kalau sudah akrab dengan setan, banyak hal yang akan kita lupa.
Mungkinkah segala lupa kita memang dari setan? Ya, siapa lagi yang membuat kita lupa? Setan paham betul tentang keadaan hati dan jiwa kita. Ia lepaskan segala takut, was-was, dan lainnya. Dan kita pun tiba-tiba lupa.
Yang miskin ditakut-takuti setan dengan seramnya masa depan. Dan yang kaya diberikan was-was akan kehilangan harta yang dicintai. Jika jebakan setan berhasil, si miskin dan kaya itu pun lupa.
Dan lupa yang paling fatal dari segala lupa adalah lupa kepada Allah subhanahu wata’ala. Ada yang lupa kalau Allah Maha Kaya dan Maha Sayang. Ada yang lupa kalau segala yang dimiliki hanya titipan sementara.
Ada yang juga lupa bahwa dunia ini hanya sejenak dan akhirat selamanya. Ada yang lupa kalau amanah akan dimintai pertanggung jawaban.
Semoga lupa yang dialami sebatas ‘over load’ dari pikiran semata. Bukan karena cengkraman setan di hati kita. [Mh]