DOKTRIN pantheisme atau menyatunya Tuhan dengan hamba yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar tidak lari dari pengaruh ajaran Hindu-Budha, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama.
Ustaz Artawijaya, penulis buku Gerakan Theosofi di Indonesia mengatakan bahwa doktrin Syekh Siti Jenar ini sering dikaitkan dengan ucapan tokoh sufi Al-Hallaj, “Ana Al-Haq” (Aku adalah Kebenaran Sejati/ Tuhan).
Ungkapan itu mengamini adanya kesatuan Tuhan dengan diri manusia yang mengarah pada paham humanisme, yaitu kebenaran berpusat pada diri manusia.
Jika ini terjadi, maka syari’at atau ajaran agama sudah tidak terpakai karena manusia sudah menganggap dirinya sebagai Tuhan.
Doktrin yang dibawa Syekh Siti Jenar dan muridnya Ki Kebo Kenanga ini terus mendapat perlawanan dari para wali. Hingga pada akhirnya pada sidang wali-wali yang diketuai oleh Sunan Giri memutuskan hukuman mati bagi Siti Jenar.
Selepas itu, dijatuhkan pula hukuman mati kepada muridnya, Ki Kebo Kenanga.
Kematian keduanya tidak juga mengubur paham pantheisme atau Manunggaling Kawula Gusti. Malah diteruskan oleh murid-murid setianya.
Pengaruh Mistik Syekh Siti Jenar pada Zaman Kerajaan di Nusantara (2)
Paham ini terus subur, terutama setelah terjadi perebutan kekuasaan Demak oleh Joko Tingkir, putera dari Ki Kebo Kenanga, hingga lahirlah Kesultanan Pajang yang semakin mengukuhkan doktrin patheisme Syekh Siti Jenar.
Runtuhnya Kesultanan Demak ini juga menjadi kemenangan kelompok pedalaman yang masih kental dengan ajaran Hindu-Budha serta secara bersamaan menjadi kekalahan kelompok pesisir yang didominasi oleh ajaran Islam.
Mulai zaman inilah ajaran kebatinan yang melekat dengan nuansa mistik dijadikan sebagai falsafah negara dengan sebutan kejawen atau abangan.
Selepas kematian Joko Tingkir atau yang disebut dengan Sultan Hadiwijaya, digantikan oleh anaknya. Namun tidak bertahan lama, kekuasaan diambil alih oleh rekan Joko Tingkir yaitu, Sutowijoyo.
Sebelumnya, Sutowijoyo ikut berperan dalam perebutan kekuasaan Demak bersama Joko Tingkir, hingga lahir Kesultanan Pajang.
Di tangan Sutowijoyo inilah kekuasaan Pajang berpindah ke Mataram.
Pada intinya, kedudukan Raja pada zaman Hindu-Budha yang dianggap sebagai penjelma Dewa diteruskan di zaman Mataram melalui doktrin Manunggaling Kawula Gusti.
Raja menjadi pusat kebenaran karena diutus langsung oleh Tuhan. Paham ini mengakibatkan raja memiliki kekuasaan tidak terbatas dan segala keputusannya tidak boleh ditentang karena dianggap sebagai kehendak Tuhan.
Pada zaman kekuasaan Mataram sempat muncul raja yang dikenal membesarkan syariat Islam bernama Sultan Agung.
Namun bagaimanapun, Sultan Agung masih turut bertanggungjawab meneruskan tradisi kejawen serta terpesona dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Paham mistiknya ini diwujudkan dalam karya Sastra Gendhing.
Sebagiman disebutkan dalam buku Pemikiran Islam Jawa Studi Kritis Seputar Metode Dakwah Wali Songo dan Mistik Kejawen karya Abdul Rahman HJ. Abdullah, karya-karya yang lahir di zaman Mataram ini banyak memancarkan semangat sikretisme dan patheisme yang menunjukkan kemenangan kelompok pedalaman yang masih menganut Hindu-Budha atas kelompok pesisir yang setia dengan ajaran Islam murni.
Ini juga berarti kemenangan ajaran yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar.
Paham pantheisme itu terus berlanjut hingga melembaga menjadi gerakan Theosofi yang dibawa oleh penjajah Belanda dan memengaruhi organisasi masyakarat yang lahir sebelum kemerdekaan. Bagaimana kisahnya? Nantikan artikel selanjutnya. [Ln]