TAHUN politik tampaknya sudah menjelang. Dan rakyat mulai disuguhkan dengan wara wiri tokoh politik yang seolah berada di dunia lain.
Sudah menjadi pemandangan rutin jika aroma pemilu sudah terasa, para politisi bergerak melebihi normalnya. Yaitu, ketika satu atau dua tahun sebelum pemilu, seperti sekarang ini.
Tokoh-tokoh politik yang juga para pejabat dengan segudang amanah terlihat wara wiri antar sesama mereka. Ada yang cocok-cocokan, ada yang saling memadu dukungan, bahkan ada yang saling menihilkan.
Tujuannya hanya satu: memuluskan jalan menuju pemilu. Seolah, tak ada yang lebih perlu untuk diurus dan ditekuni selain tentang itu.
Lalu, siapa yang mengurus rakyat? Untuk sementara, segalanya seperti autopilot. Nanti setelah mereka saling cocok-cocokan, rakyat baru dirayu, digoda, dan tentu saja digombali agar bisa jatuh cinta kepada mereka.
Fenomena seperti berada di dunia lain itu, menjadikan kesibukan politisi tidak nyambung dengan keadaan rakyat. Para politisi sibuk berebut panggung, sementara rakyat diombang-ambing krisis yang nyaris tak berujung.
Inilah mungkin fenomena demokrasi semu. Yaitu ketika rakyat seolah menjadi prioritas, padahal sejatinya hanya sekadar pijakan untuk pentas.
Semoga ada kesadaran rakyat yang lebih baru. Bahwa, merekalah tuan yang menentukan siapa ‘pelayan’ yang pantas untuk dipilih. Bukan objek yang hanya menjadi permainan.
Saatnya Indonesia harus dipimpin oleh mereka yang amanah. Yang berjuang untuk kepentingan bangsa, bukan untuk sekadar rekan sejawat dan keluarga. [Mh]