AHLUZ Zikri adalah mereka para ulama. Mereka kompeten sebagai tempat bertanya karena memiliki dua keutamaan: ilmu dan akhlak.
Saat ini seperti ada pergeseran tentang mencari ilmu. Orang merasa seperti tak perlu lagi ikut kajian dari para ulama. Cukup melalui media internet, semua ada jawabannya.
Bisakah seperti itu? Sepintas memang bisa diterima. Kenapa susah-susah ikut kajian, cukup tanyakan saja ke ‘mbah google’, apa saja bisa dijawab.
Mulai dari soal tafsir, hadis, akhlak, fikih, akidah, dan lain-lain. Semua seperti tersedia kapan pun dibutuhkan. Cukup mengajukan pertanyaan, jawaban pun tersaji.
Masalahnya, yang kita tanyakan hanya mesin. Mungkin saja akan ada jawaban yang tersaji. Tapi, tidak bisa mengkonfirmasi balik dari apa yang kita simpulkan.
Misalnya, jika ada jawaban yang banyak dari satu pertanyaan, mana dari sekian jawaban itu yang sesuai dengan kasus kita.
Itulah yang disebut dengan ‘talaqi’. Yaitu, merujuk sebuah ilmu kepada ulama yang rujukannya seperti yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para generasi terdidik biasa mengatakan, “Menurut ulama ini, begini. Menurut ulama itu, begitu.” Dan seterusnya.
Artinya, mereka tidak sembarang mengambil penafsiran sendiri, hanya melalui dalil Al-Qur’an dan Hadis yang tersedia.
Contoh, apa hukumnya menikah? Kalau kita menggampangkan dengan hanya melihat hadis yang ditemukan di internet, maka akan ketemu, “Nikah itu sunnahku, dan siapa yang tidak mengikuti sunnahku maka ia bukan golonganku.”
Maka, jawabannya bahwa nikah itu wajib. Kalau ditanyakan lagi, bagaimana dengan sebagian ulama yang tidak menikah, seperti Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, dan lainnya. Tentu jawabannya tidak semudah yang dibayangkan.
Karena itu, sudah menjadi hal biasa dari para salafus soleh atau generasi awal setelah masa para sahabat Nabi; untuk merujuk pada tokoh ulama tertentu dalam segala urusan agama.
Misalnya, Imam Bukhari itu pakar hadis. Ratusan ribu bahkan lebih hadis ia hafal. Tapi, beliau tetap merujuk pada ulama, yaitu Imam Syaf’i.
Kenapa sekaliber Imam Bukhari harus merujuk pada ulama padahal dalil hadis ada dalam dirinya? Karena pakar hadis itu seumpama apoteker yang paham katalog obat. Tapi, ia tetap harus merujuk pada dokter untuk memilih mana obat yang cocok untuk pasien.
Apakah terlarang mengambil ilmu agama melalui media internet? Tidak juga. Internet itu wasilah atau sarana. Yang penting, kepada siapa kita merujuk: bertanya, mengkonfirmasi, dan meminta fatwa.
Jadi, tanyakan kepada ulama jika kita ingin memahami sesuatu. Bisa langsung jika ia masih hidup, bisa juga melalui kitabnya. Bukan melulu kepada Mbah Google. [Mh]