BAGAIMANA cara shalat bagi penderita anus buatan atau buang airnya tidak sadar? Bagaimana cara shalat ketika setelah operasi, dan kondisi masih menggunakan selang untuk buang air kecil? Karena ketika buang air kecil tidak sadar.
Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S. menjelaskan bahwa bagi penderita anus buatan di perut (stoma), tentu tidak sama hukumnya dengan orang yang normal dan wajar.
Orang yang normal akan mampu mengontrol BAB dan BAK-nya. Rasa mulas bisa mereka rasakan sehingga mereka bisa mengatur keluarnya feses (kotoran).
Ada pun bagi penderita stoma, kotoran tersebut keluar begitu saja melalui lubang anus buatan di perutnya, di luar kontrolnya. Ini tentunya keadaan tidak biasa dan menyuling.
Di sisi lain, shalat adalah kewajiban atas muslim mukallaf mana pun selama akalnya masih berjalan dengan baik.
Artinya, keadaan stoma bukanlah keringanan meninggalkan shalat. Sedangkan sahnya shalat, mensyaratkan suci dari berbagai najis.
Lalu, bagaimana dengan kotorannya?
Itu adalah kondisi masyaqqah (kesulitan) bagi dia. Sedangkan Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu
(QS. At-Taghabun, Ayat 16)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka, jika aku memerintahkan kamu terhadap sesuatu, jalankanlah sejauh yang kalian mampu.
(HR. Muslim no. 1337)
Baca Juga: Cara Shalat Khusyuk dan Status Dagu saat Shalat
Cara Shalat bagi Penderita Anus Buatan
Sementara itu, dalam kaidah fiqih disebutkan:
الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ
Kesulitan itu menarik kemudahan. (Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hlm. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)
Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki:
المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع
Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan.
(Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Maka, kondisi yang ditanyakan saudara penanya yaitu adanya najis yang bisa keluar tanpa disadari termasuk saat shalat, mirip seperti orang yang keluarnya beser yang tidak bisa dikontrol,
atau orang yang luka terus menerus, atau seperti wanita yang darah istihadhah keluar terus menerus, dia mengalami kesulitan yang digambarkan oleh kaidah-kaidah di atas, maka shalatnya tetap sah.
Dalilnya adalah, terdapat dalam Shahih Bukhari di ceritakan oleh Imam Hasan Al Bashri Rahimahullah:
ﻣَﺎ ﺯَﺍﻝَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮﻥَ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻓِﻰ ﺟِﺮَﺍﺣَﺎﺗِﻬِﻢْ
Kaum muslimin senantiasa shalat dalam keadaan mereka terluka.
Riwayat lain:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي
Dari Aisyah dia berkata; ‘Fathimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata;
‘Wahai Rasulullah, aku adalah wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, hingga diriku tidak suci, apakah aku harus meninggalkan shalat?’
Beliau bersabda: “Itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haidh, apabila darah haid datang, tinggalkanlah shalat. Apabila darah haid telah berlalu, bersihkanlah darah tersebut dari dirimu kemudian shalatlah.”
(HR. Muslim no. 333)
Dua riwayat ini menunjukkan wanita yang selalu keluar darah istihadhah-nya tetap wajib shalat. Padahal darah itu mengalir dan najis. Ini menunjukkan “kondisi khusus” yang dimaafkan.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وحكم سلس البول والمذي ومن به حدث دائم وجرح سائل حكم المستحاضة على ما سبق
Hukum bagi orang yang beser, dan mudah keluar madzi, dan orang yang selalu berhadas, dan darah luka yang mengalir, adalah sama hukumnya dengan wanita yang istihadhah sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/516)
Kesimpulannya:
1. Sebelum shalat, bersih-bersih dulu termasuk anus buatan tersebut. Lalu wudhu selayaknya ingin shalat, jika sudah masuk waktu shalat.
Ada pun jika wudhunya sebelum masuk waktu shalat, lalu dia keluar najis sebelum shalat maka ini batal, mesti ulangi wudhunya.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
فإن توضأ أحد هؤلاء قبل الوقت، وخرج منه شيء، بطلت طهارته
Jika salah seorang mereka (orang yang disebut di atas) berwudhu sebelum waktunya, lalu keluar najis, maka batal thaharahnya. (Al Mughni, 1/248)
Inilah pendapat mayoritas ulama.
Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhullah mengatakan:
فإن الذي عليه جمهور الفقهاء أن صاحب السلس يجب عليه الوضوء لكل صلاة بعد دخول وقتها، ولا يجزئه أن يتوضأ لصلاة قبل دخول وقتها، ويجب عليه إذا أراد الصلاة أن يغير ملابسه المصابة بالنجس أو يطهرها إن أمكن ذلك ويغسل المحل جيداً
Sesungguhnya yang dianut oleh mayoritas fuqaha adalah bahwa penderita beser wajib wudhu pada setiap shalat setelah masuk waktunya, tidak sah jika dia berwudhu sebelum masuk waktunya.
Dan, wajib baginya jika hendak shalat mengganti pakaiannya yang kena najis atau hendaknya dia sucikan sejauh kemampuannya dan dia cuci yang kotor itu sebaik-baiknya.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 108086)
2. Jika kondisi sulit, atau ketika shalat, tapi keluar najis tersebut tanpa disadarinya, maka itu ketidakberdayaan yang dimaafkan dan tidak bisa dihindarkan, dan shalatnya tetap sah.
3. Sah bagi dirinya, maka apakah sah pula saat dia menjadi imam bagi orang lain yang normal?
Ada dua pendapat ulama:
Tidak boleh, tidak sah, menurut Hanafiyah dan Hambaliyah, sebab yang mengalami darurat hanya si imam, sedangkan makmum tidak. Sedangkan darurat diaplikasikan sesuai kebutuhan daruratnya.
Sah dan boleh, menurut Syafi’iyyah dan Malikiyah, sebab udzur yang membuat sah bagi imam maka itu juga sah bagi makmum. Hanya saja Malikiyah menyatakan makruh walau sah.
(Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 25/187. Juga Al Majmu’, 4/160) .
Sebaiknya, untuk menghilangkan keraguan atas was was dia bisa meminta orang lain saja, yang sehat dan normal untuk menjadi imam.
Wa Shalallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Demikian. Wallahu a’lam.[ind]
Sumber: Sharia Consulting Center (SCC)