KASUS pemalsuan identitas yaitu dalam kasus seorang perempuan yang mengaku sebagai laki-laki, memiliki banyak gelar akademik, berprofesi sebagai dokter. Ia lalu menikahi seorang perempuan.
Praktisi hukum Rosalita Chandra, S.H., M.H., mengungkapkan bahwa kasus ini dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana.
Hal orang tersebut melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal sebagai berikut.
Pasal 263 KUHP
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti suatu hal dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, bila pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Baca Juga: Palsukan Identitas Perempuan, Kedua Mempelai ini Jadi Tersangka
Kasus Pemalsuan Identitas Perempuan Mengaku sebagai Laki-laki
Pasal 264 KUHP
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, bila dilakukan terhadap:
1. akta-akta otentik;
2. surat utang atau sertifikat utang dari suatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. surat sero atau utang atau sertifikat sero atau utang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam nomor 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. surat kredit atau surat dagang yang disediakan untuk diedarkan.
(2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat (1), yang isinya tidak asli atau yang dipalsukan seolah olah benar dan tidak dipalsukan, bila pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) KUHP
(1) Barangsiapa menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu,
dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akte tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 378 KUHP
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Selain itu, undang-undang administrasi kependudukan juga mengatur ketentuan pidana bagi setiap orang yang memerintahkan, memfasilitasi, dan melakukan manipulasi data kependudukan dan/atau elemen data penduduk.
Pelakunya dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 75 juta rupiah. Hal ini diatur dalam Pasal 94 UU No. 24 Tahun 2013.
Setiap orang atau badan hukum yang tanpa hak mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan dokumen kependudukan dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Ketentuan pidana pemalsuan KTP El dan dokumen kependudukan lainnya telah diatur dalam Pasal 95B Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dengan demikian, menurut Rosalita, perlu dilihat secara cermat perbuatan apa yang dilakukan oleh pelaku.
“Apakah pelaku membuat ijazah palsu atau KTP palsu dan menggunakannya seolah-olah dokumen tersebut benar sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain,” ujarnya kepada ChanelMuslim.com, Kamis (23/6/2022).
Atau pelaku dengan tipu muslihat atau rangkaian kebohongannya telah meyakinkan korban untuk menyerahkan barang yang menguntungkan pelaku, sehingga dapat dikatakan sebagai tindak pidana penipuan.[ind]