KASUS gagal masuk Ustaz Abdul Somad ke Singapura masih menjadi sorotan publik. Hal ini karena secara terang-terangan Singapura menyebut UAS sebagai ekstrimis dan pemecah belah. Suatu kesimpulan yang sangat sensitif.
Sudah merupakan hak setiap negara untuk menerima atau menolak warga asing yang datang. Tapi, sebagai bangsa yang beradab, tentu harus mengikuti etika pergaulan dunia.
Terlebih lagi jika yang ditolak adalah warga dari negara tetangga. Bahkan juga masih serumpun.
Alasan penolakan Singapura terhadap kedatangan UAS yang menyebut ekstrimis bisa dibilang menyentuh hal sangat sensitif dalam pergaulan bilateral sebuah negara.
Hal ini tidak diukur dari sosok UASnya saja. Melainkan juga UAS sebagai tokoh panutan umat Islam di Indonesia.
Karena itu, menyebut UAS sebagai sosok ekstrimis dan pemecah belah tak ubahnya seperti memprofilkan umat Islam Indonesia umumnya seperti itu.
Dari sudut pandang yang lain, tuduhan seperti yang dilontarkan pihak Singapura juga menyentuh isu Islamophobia. Dengan kata lain, ternyata Singapura menyerang Indonesia dengan cara Islamophobia.
Padahal, PBB sudah melarang negara-negara di dunia untuk melakukan stigmatisasi terhadap Islam dan Umat Islam, atau biasa yang disebut Islamophobia. Pelarangan itu sudah tercetus pada Maret lalu.
Boleh jadi, ada agenda lain dari Singapura untuk berani memainkan isu sensitif itu terhadap tetangganya sendiri. Yaitu, semacam menguji wibawa NKRI.
Konteksnya masih ada hubungan dengan Perang Rusia dan Ukraina serta menjelang KTT G20 beberapa bulan mendatang di Bali.
Seperti diketahui, Amerika begitu keberatan dengan sikap Indonesia yang tidak tegas dengan Rusia. Dan hal tersebut akan terbawa di KTT G20 mendatang.
Dengan kata lain, Singapura menjadi batu uji untuk Indonesia: apakah sang tuan rumah KTT dunia ini masih memiliki wibawa di mata dunia.
Dari batu uji ini, jangan heran jika Amerika akan memberikan kesan wajar-wajar saja kalau mereka tidak perlu hadir di KTT G20. Karena Indonesia menurut mereka, memang sudah tidak pantas dianggap sebagai negara yang berwibawa.
Kini, bola panasnya ada di tangan pejabat dan diplomat negeri ini. Apakah mereka akan bereaksi dengan menunjukkan wibawa sebagai negara besar dan bermartabat. Atau…, ya kita lihat saja nanti. [Mh]