USAI shalat Zuhur, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak biasanya berjalan menaiki mimbar. Biasanya, Nabi menyampaikan tausiyah atau pesan dengan posisi duduk atau hanya berdiri di tempat.
Para sahabat menyimak hal tidak biasa itu. Salah satu yang tangkap adalah ucapan Nabi yang mengatakan ‘aamiin’ sampai tiga kali.
Seusai itu, sahabat menanyakan hal itu. Nabi pun menjelaskan bahwa Malaikat Jibril memerintahkannya untuk mengucapkan aamiin.
Ucapan Nabi tersebut setelah Malaikat Jibril mengucapkan tiga kalimat. Yang kira-kira artinya, buruk sekali orang yang disebut nama Nabi Muhammad tapi tidak mengucapkan shalawat. Buruk sekali orang yang hidup bersama orang tuanya tapi tidak mendapatkan surga.
Dan satu lagi, buruk sekali orang yang melalui Bulan Ramadan tapi tidak memperoleh ampunan dari Allah subhanahu wata’ala.
Orang ini tentu saja yang dimaksud umat Islam. Tapi, mereka melalaikan ibadah di bulan Ramadan. Mungkin puasanya bermasalah, semangat ibadahnya yang nihil, atau tidak ada rasa bahagia dengan kehadiran bulan Ramadan.
Kita tidak perlu meyakinkan diri bahwa kita tidak mungkin termasuk dari orang yang dimaksud Nabi ini. Karena hal itu akan menjebak diri sendiri kepada ujub atau merasa diri mulia.
Padahal boleh jadi, di sisi Allah, mutu ibadah dan amal yang kita banggakan itu begitu kecil.
Bagaimana mengukur muhasabah tentang hal ini? Perhatikanlah seperti apa diri kita di saat Ramadan dan seperti apa keadaan kita seusai Ramadan berlalu.
Sudah menjadi fenomena biasa suasana masjid di awal-awal Ramadan. Ramai dan membludak. Tapi lambat laun menyusut ke titik “normal” di saat akhirnya.
Kemanakah orang-orang yang pernah semangat itu? Boleh jadi, semangat itu hanya tumbuh dari gairah ritual tahunan yang hanya bertahan dua hingga tiga hari. Mereka hanya merindukan suasananya, bukan memahami keutamaan Ramadannya.
Orang-orang ini tiba-tiba muncul lagi di saat Shalat Hari Raya Idul Fitri. Mereka hadir dengan busana baru, bagus, dan modis. Tapi usai itu, masjid pun akan sepi seperti sediakala.
Semoga Allah melindungi kita dari keadaan seperti itu. Tapi, ungkapan ini bukan sebuah kebanggaan diri. Melainkan doa yang tulus.
Sebuah doa agar Allah tidak memasukkan kita sebagai orang-orang yang gagal dalam madrasah pendidikan Ramadan. [Mh]