SAYA ingin bertanya, jika seseorang itu shalat tapi masih nonton drama, apakah amalan itu sia-sia? Ia selalu shalat di awal waktu, tidak pernah meninggalkan shalat sunah rawatib dan juga shalat witir sebelum tidur.
Ustaz Adi Hidayat, Lc. dalam akun Youtube-nya menjelaskan mengenai persoalan ini sebagai berikut.
Masya Allah, semoga istiqomah dalam ibadahnya. Ada orang shalat tapi masih berbuat yang tidak penting, disebut laghwu yang berada di tengah-tengah antara maksiat dengan taat.
Hal yang tidak penting ini ini belum tentu melahirkan dosa tapi tidak disukai karena berpotensi mendekatkan kepada maksiat.
Kita ambil contoh, kalau pandangan melihat yang terlarang, misalnya pornografi apalagi kalau pornoaksi dan sebagainya, itu sudah maksiat.
Menonton tontonan yang tak baik, bukan tuntunan, tapi tontonan yang tidak layak menjadi tuntunan.
Baca Juga: Menciptakan Rumah Tangga Antidrama
Shalat Tapi Masih Nonton Drama
Ada drama-drama misalnya ya tak ada unsur terlihat langsung maksiatnya, tapi melalaikan dari taat. Waktu untuk membaca al-qur’an hilang, waktu untuk bekerja, waktu untuk mengasah kemampuan berpikir hilang.
Ibarat seseorang berusia 40 tahun naik sepeda menggunakan sepeda anak 4 tahun. Itu perbuatan sia-sia. Perbuatan itu tidak berdosa tapi juga tak ada manfaat dan berpotensi melahirkan dosa pada diri orang lain.
Di dalam Islam, gambaran keimanan itu nanti ditunjukkan dalam perbuatan. Oleh karena itu, iman senantiasa bersanding dengan perbuatan amal sholeh.
Apakah perbuatan laghwu menunjukkan lemahnya iman?
Iman itu tingkatannya dibagi tiga yaitu sebagai berikut.
1-Aamana, yaitu iman yang standar, berproses dari dasar.
Tipe orang dengan keimanan standar ini yaitu hanya mengerjakan shalat wajib 5 waktu. Ia belum tergerak menunaikan shalat sunnah dan ibadah lainnya.
Perlu diketahui Sahabat Muslim, hasil dari ibadah itu feedback-nya bermanfaat untuk kehidupan kita.
Shalat bermanfaat mencegah perbuatan keji dan munkar, tapi karena yang dikerjakan baru pokok atau standarnya, maka yang tercegah juga hanya pokok-pokok saja.
Orang dengan tipe keimanan ini kadang masih berbuat maksiat juga karena yang dikerjakan amalannya hanya yang standar.
Oleh karena itu, keimanan ini perlu dilatih dengan konsisten agar tidak mudah tergoda oleh setan sehingga bisa berpotensi terperosok pada maksiat.
2-Yu’minu, jamaknya yu’minun, yang bermakna ketersambungan kontinuitas dan konsistensi.
Padanan katanya dalam Bahasa Inggris yaitu present continuous future.
Naikkan level keimanan standar (aamana) dengan menjadi yu’minu yaitu dengan terus konsisten ibadah dan meningkatkan ibadah.
Shalat bukan sekadar mengejar yang fardhu (QS. Al-Baqarah ayat 3)
Orang yang terus meningkatkan iman, menyempurnakan shalat, tambah yang fardhu dengan yang sunnah.
3-Mukmin, jamaknya mukminun, yaitu kualitas keimanan yang dilatih terus sehingga menjadi identitas.
Kalau sudah naik level, maka maksiat akan bergeser karena dia sudah punya ketahanan yang kuat sehingga terjebak pada maksiat.
Akan tetapi, hal laghwu ini masih mungkin terjadi. Oleh karena itu, setan masuk lewat pintu laghwu supaya menurunkan lagi level yu’minu ke aamana.
Bagaimana caranya kita tidak bisa menolak provokasi setan karena setan tetap menggoda? Dengan memahami fiqihnya kita bisa menghindarinya.
Bagaimana cara mengalihkan? Naikkan keadaan kita dari yu’minuun kepada Mukminun.
Alquran memberikan petunjuk kepada kita untuk memperbaiki kualitas bukan kuantitas.
Bagaimana kualitas yang fardhu itu khusyuk? Kalau sudah mendapatkan kekhusyukan, kenikmatan dalam shalatnya, bisa menikmati salat nyaman, menunaikannya ada getaran pada jiwa.
QS. Al-Mukminun ayat 1-3 mengaitkan tentang tiga tingkatan iman.
Allah Subhanahu wa taala menjamin kesuksesan dan kebahagiaan bagi orang-orang yang beriman (mukminuun) yang keimanannya sudah melekat sebagai identitas.
Bagaimana cara melatihnya? Ayat 2 disebutkan ‘alladziina’ yaitu menyambungkan sesuatu tanpa batas yaitu orang beriman yang berpotensi bahagia dan sukses.
Karena tanpa batas, maka kata ini membuka semua kalangan tanpa kecuali. Allah Subhanahu wa taala membuka peluang siapa pun yang ingin sukses dan bahagia, baik lelaki, perempuan, tua-muda besar-kecil apapun status sosial dunianya.
Semua dibuka dengan peluang yang serupa, peluang yang sama.
Kata Allah Subhanahu wa taala: perbaiki kualitas shalat.
Kualitas bukan kuantitas. Bagaimana shalat itu ditunaikan dengan khusyuk. Jadi, bukan perkara berapa banyak dikerjakan, tapi adakah kenikmatan saat kita melakukannya?
Ayat 3, jika ini sudah dikerjakan, Laghwu akan hilang.
Orang khusyuk itu pancaran dalam kehidupannya, dia bekerja tapi orientasinya bukan dunia lagi.
Dia shalat untuk mendapat kekhusyukan. Ia bekerja untuk mendapat harta agar bisa bersedekah.
Itulah makna orang yang khusyuk dan dapat menjaga keimanannya sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat.[ind]