ChanelMuslim.com- Nikah tanpa pacaran itu bagus. Bahkan sangat bagus. Caranya, dengan ta’aruf Islami. Tapi, ta’aruf itu cuma cara. Yang penting nilainya.
Seiring dengan keinginan kaum muda menikah tanpa pacaran, pilihan ta’aruf Islami jadi jalan. Dengan cara ini, menuju jalan pernikahan jadi lebih “bersih”.
Namun, jangan salah. Ta’aruf Islami itu hanya cara. Yang penting adalah nilai dari proses menikah itu sendiri.
Jangan heran jika ada beberapa kisah orang-orang soleh yang menikahnya tanpa ta’aruf sama sekali. Alias, dijodohin. Tapi, bahtera rumah tangga mereka tetap berlayar normal.
Contohnya, Nabi dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Boleh dibilang, Nabi belum pernah bertemu dengan Aisyah. Begitu pun sebaliknya. Tapi Allah mengabarkan kalau istri ketiga Nabi adalah puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq, yaitu Aisyah.
Tentu saja Abu Bakar sangat setuju. Aisyah pun setuju. Dan pernikahan sederhana pun dilangsungkan.
Hal yang menarik pernah terjadi dengan pernikahan Umar bin Khaththab dengan puteri Ali bin Abi Thalib, Ummu Kultsum yang juga cucu Rasulullah.
Umar dan Ali saling bersepakat untuk menyambung persaudaraan. Umar dinikahkan Ali dengan salah satu puterinya. Pernikahan pun berlangsung begitu sederhana tanpa diketahui puteri Ali.
Beberapa waktu setelah menikah, Umar dipertemukan dengan istrinya. Umar menghadiahkan istrinya rangkaian bunga. Puteri Ali terkejut bukan kepalang. Pasalnya, ia belum tahu kalau ayahnya sudah menikahkannya dengan Umar yang saat itu usianya tidak muda lagi.
Meski awalnya terjadi keterkejutan, tapi perjalanan rumah tangga mereka berlangsung normal.
Tentang ini, para ulama fikih sempat melakukan kajian. Bagaimana hukumnya menjodohkan anak tanpa sepengetahuannya. Dan yang dilakukan Umar dan Ali itu tentu bukan asal-asalan.
Para salafus soleh memang biasa menjodohkan putera-puteri mereka. Jika dua ayah saling setuju, maka pernikahan pun berlangsung.
Pertanyaannya, kenapa tidak terjadi huru-hara di rumah tangga baru mereka? Padahal, proses ta’arufnya bisa dibilang begitu kilat. Bahkan tidak terjadi sama sekali.
Hal ini karena para salafus soleh itu memahami benar tentang nilai sebuah pernikahan. Mereka tidak terbiasa dengan pilah-pilih. Karena hijab antara pria dan wanita di masa itu begitu strik alias ketat. Kalaupun saling melihat, para wanita lebih banyak mengenakan cadar.
Mereka pun tidak terkontaminasi dengan cinta-cintaan ala Barat. Mereka pun tidak mengenal pribahasa ‘dari mata turun ke hati’. Hal ini karena mereka memang tidak terbiasa dengan interaksi langsung pria dan wanita.
Jadi, buat mereka proses perjodohan begitu simpel. Kalau orang tua, paman, atau kerabat yang dipercaya memberikan “lampu hijau”, terjalinlah hubungan pernikahan dengan begitu mudah.
Tentang Umar yang melamar puteri Ali bin Thalib. Bukan karena Umar sudah mengincar kecantikan cucu Rasulullah itu. Tapi lebih karena didorong hadis Rasulullah tentang nasab yang mulia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pada Hari Kiamat nanti, semua ikatan dan nasab akan terputus, kecuali ikatan dan nasabku.” (HR. Ath-Thabrani)
Jadi, Umar bin Khaththab menikahi puteri Ali bukan karena soal duniawiyah. Tapi karena ingin masuk dalam golongan seperti yang disabdakan Nabi tersebut, yaitu menjadi ahlul bait.
Pertanyaannya, kalau Anda akan dinikahi dengan putera atau puteri Kiyai. Apa Anda terima seratus persen tawaran itu tanpa harus melihat dan mengenalnya?
Inilah nilai itu. Dan, ta’aruf hanya sekadar cara. [Mh]