SUAMI menyebut perilaku istri seperti ibunya. Apakah hal itu termasuk menyamakan? Ada sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Ustaz Farid Nu’man Hasan
Terkait menzhihar istri, apakah juga dikatakan zhihar kalau tingkah laku istri disamakan dengan ibu kandung atau hal lain di luar fisik?
Baca Juga: Jangan Ceritakan Wanita Lain kepada Suami
Suami Menyebut Perilaku Istri seperti Ibunya
Dijelaskan bahwa turunnya ayat zhihar, berawal dari seorang suami yang menyamakan fisik istrinya seperti ibunya. ZHIHAR, diambil dari kata Azh Zhahr yang artinya PUNGGUNG.
Zhihar adalah seorang suami berkata kepada istrinya punggungmu seperti punggung ibuku, dengan maksud menyamakannya.
Hal ini tercantum dalam surat Al Mujadilah ayat 1-4, silakan perhatikan:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
(QS. Al-Mujadilah, ayat 1)
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.
(QS. Al-Mujadilah, ayat 2)
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۚ ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al-Mujadilah, ayat 3)
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ۖ فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۗ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.
Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.
(QS. Al-Mujadilah, ayat 4)
Bagaimana SEBAB TURUNNYA AYAT INI?
Dalam kitab Asbabun Nuzul-nya Al Wahidiy, diceritakan dari Aisyah Radhiyallahu Anha:
Bahwa Khaulah binti Tsa’labah mengadu ke Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Sallam tentang suaminya (Aus bin Ash Shamit) yg telah menzhihar-nya karena dia sudah mulai tidak muda, sudah gemuk, seperti ibunya.
Maka turunlah ayat-ayat di atas.
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu bercerita: “Aus bin Ash Shamit menzhihar istrinya, Khaulah binti Tsa’labah, setelah dia sudah tua, tidak kuat lagi tulangnya, lalu turunlah ayat tersebut.”
(Al Wahidiy, Asbabun Nuzul, Hlm. 298-299)
Nah, seorang suami menyamakan fisik istri dengan ibunya dan dibarengi niat atau maksud menyerupakan maka itulah zhihar. Pelakunya dikenai hukum-hukum zhihar. Adapun jika tidak berniat zhihar, tidaklah jatuh zhihar. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Lalu, bagaimana menyerupakan istri dengan perilaku ibunya, “Perbuatanmu/tingkah lakumu seperti tingkah laku ibuku”, maka ini kalimat yang tidak sharih (jelas-lugas) dalam zhihar. Apalagi jika tidak dibarengi niat zhihar, maka ini sama sekali tidak jatuh hukum zhihar.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
إنْ كَانَ مَقْصُودُهُ أَنْتِ عَلَيَّ مِثْلُ أُمِّي وَأُخْتِي فِي الْكَرَامَةِ فَلا شَيْءَ عَلَيْهِ . وَإِنْ كَانَ مَقْصُودُهُ يُشَبِّهُهَا بِأُمِّهِ وَأُخْتِهِ فِي ” بَابِ النِّكَاحِ ” فَهَذَا ظِهَارٌ عَلَيْهِ
Jika maksud dia berkata “Kamu semisal ibuku dan saudara perempuanku” adalah untuk penghormatan, maka ini tidak apa-apa. Tapi, jika maksudnya adalah penyerupaannya kepada ibu atau saudara perempuannya dalam konteks pernikahan, maka itu adalah zhihar.
(Majmu’ Al Fatawa, 34/5)
Sementara Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
وَإِنْ قَالَ : أَنْتِ عَلَيَّ كَأُمِّي . أَوْ : مِثْلُ أُمِّي . وَنَوَى بِهِ الظِّهَارَ , فَهُوَ ظِهَارٌ , فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ ; مِنْهُمْ أَبُو حَنِيفَةَ , وَصَاحِبَاهُ , وَالشَّافِعِيُّ , وَإِسْحَاقُ . وَإِنْ نَوَى بِهِ الْكَرَامَةَ وَالتَّوْقِيرَ , أَوْ أَنَّهَا مِثْلُهَا فِي الْكِبَرِ , أَوْ الصِّفَةِ , فَلَيْسَ بِظِهَارٍ . وَالْقَوْلُ قَوْلُهُ فِي نِيَّتِهِ” اهـ .
Jika seseorang berkata kepada istrinya: “Bagiku Engkau seperti ibuku”, atau “semisal ibuku”, dengan maksud zhihar maka ini adalah zhihar, menurut mayoritas ulama, diantaranya: Abu Hanifah dan dua sahabatnya (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan), Asy Syafi’iy, dan Ishaq.
Tapi, jika niatnya untuk penghormatan dan pemuliaan, atau dia seperti ibunya dalam hal ukuran tubuhnya, dan sifatnya, maka itu bukan zhihar. Perkataan itu dilihat berdasarkan niatnya.
(Al Mughniy, 11/60)
Demikian. Wa Shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa’ala Aalihi wa shahbihi wa sallam.[ind/alfahmu/Cms]