ADA sebuah pertanyaan tentang bagaimana hukum seorang wanita menyandingkan nama suami di belakang istri? Contohnya, seperti ada di beberapa daerah di Indonesia. Misal Fatimah, istri dari Bapak Jafar dipanggil Fatimah Jafar.
Baca Juga: Sikap Istri terhadap Suami yang Suka Memfitnah
Hukum Menyandingkan Nama Suami di Belakang Nama Istri
Hendaknya seseorang dinasabkan dan disandarkan kepada nama ayahnya, bukan nama suaminya.
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
Panggilah anak-anak itu dengan nama ayah-ayah mereka. Dan yang demikian itu lebih adil di sisi Allah. (Qs. Al Ahzab: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
Barang siapa yang mengklaim nasab kepada seorang yang bukan ayahnya, padahal dia tahu (itu bukan ayahnya), maka surga haram baginya. (HR. Al Bukhari No. 4326, Muslim, 115/63)
Maka, hendaknya seorang wanita tetap menggandengkan nama ayahnya di belakang namanya, sebab ayah tidak akan pernah jadi “mantan ayah”.
Kalau ada wanita menggunakan nama suaminya, “Fathimah Ja’far”, lalu besok bercerai atau suami wafat, nikah lagi dengan Ahmad, maka berubah lagi menjadi “Fathimah Ahmad.” Sedangkan dengan ayah, tidak akan berubah.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah menjelaskan;
لا يوجد في السنة النبوية ما يدل على أن الزوجة تُنسب لزوجها ، بل هذا أمر حادث لا تقره الشريعة ، وهؤلاء زوجات النبي صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ، تزوجهن النبي صلى الله عليه وسلم وهو أشرف الناس نسباً ، ولم تُنسب إحداهنَّ لاسمه صلى الله عليه وسلم ، بل كلُّ واحدة منهن نسبت لأبيها ولو كان كافراً ، وهؤلاء زوجات الصحابة – رضي الله عنهن –ومن بعدهن لم يغيرن نسبهن
Tidak ditemukan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa seorang istri disandarkan (dinasabkan) kepada suaminya. Ini adalah perkara baru yang tidak diakui oleh syariah.
Lihat istri-istri Nabi Shallallahu’Alaihi wa Sallam, para Umahatul mu’minin, mereka menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya yaitu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi masing – masing mereka tidak pernah menasabkan nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka.
Namun, mereka tetap mengkaitkan nama mereka kepada ayah-ayah mereka walau ayah mereka kafir.
Begitu pula istri-istri generasi sahabat nabi, juga setelah mereka, mereka tidak pernah mengubah nasab mereka.
(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 82138)
Hal yang Dibolehkan
Adapun jika dipanggil dengan “Istri Ja’far”, “Bu Ja’far” yang menunjukkan ikatan pernikahan, ini tidak apa-apa.
Sebab Allah Ta’ala menyebut hal demikian pula:
إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika Istri ´Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis).
Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Ali Imran: 35)
Ayat lain:
وَقَالَ نِسْوَةٌ فِي الْمَدِينَةِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ تُرَاوِدُ فَتَاهَا عَنْ نَفْسِهِ قَدْ شَغَفَهَا حُبًّا إِنَّا لَنَرَاهَا فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan perempuan-perempuan di kota berkata, “Istri al-Azizmenggoda dan merayu pelayannya untuk menundukkan dirinya, palayannya benar-benar membuatnya mabuk cinta.
Kami pasti memandang dia dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Yusuf: 30).
Demikian. Wallahu a’lam.[ind/Cms]