DICERAI lewat surat, meninggal sebelum putusan. Bapak saya tinggal di Jakarta dan menduda kemudian menikah kembali di usia 79 dengan janda berusia kira-kira 60 tahun di Aceh.
Setelah (kira-kira) setengah tahun menikah, sang istri pamit pulang ke Aceh untuk acara sunatan anaknya (dari suami semula).
Ia meminta sejumlah uang untuk ongkos pulang-pergi (dia dan anaknya) dan untuk biaya sunat di Aceh berikut perayaannya.
Baca Juga: Dicerai, Suami Tidak Mau Bertanggung jawab
Sayangnya, saat pulang, ia menitip surat ke Ibu RT untuk disampaikan ke Bapak saya beberapa hari setelah ia berangkat ke Aceh.
Saat kami baca, katanya ia tidak akan balik lagi ke Jakarta karena tidak nyaman dengan kami, para anak dari Bapak kami. Dan ia meminta Bapak kami yang ke Aceh.
Berdasarkan cerita Bapak kami, selama satu rumah, banyak kewajibannya sebagai istri yang tidak dipenuhi (wallahu a’lam).
Singkat cerita, Bapak saya ingin menceraikannya karena tidak melihat ada itikad baik dari sang istri. Ongkos pesawat untuk kembali ke Jakarta saja masih ada di dia, belum ada itikad mengembalikan.
Baca Juga: Rujuk dan Talak Ketika Marah
Bapak saya pun membuat surat cerai dan dibacakan dengan disaksikan dua saksi laki-laki dari warga.
Surat cerai tersebut dikirimkan melalui pos, dan ditanda terima pos (via website) tercatat penerimanya adalah langsung sang isteri.
Setelah itu, Bapak saya pun mengurus perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama Jakarta. Qadarullah, belum selesai proses cerai di pengadilan, Bapak saya meninggal bulan Ramadan lalu.
Pertanyaan saya, apakah sang istri yang sudah ditalak via surat, berhak atas warisan bapak saya?
Ustaz Fauzi Bahresy, S.S. menjelaskan persoalan ini sebagai berikut.
Kami turut prihatin dengan kondisi yang Anda alami. Semoga ayah Anda mendapat terbaik di sisi-Nya.
Pertama, cerai atau talak yang dilakukan oleh ayah Anda melalui surat hukumnya sah secara syariat selama dilakukan dengan niat talak secara penuh kesadaran tanpa paksaan.
Apalagi disertai keberadaan saksi yang menguatkan.
قال ابن قدامة رحمه الله : ” ولا يقع الطلاق بغير لفظ الطلاق ، إلا في موضعين : أحدهما ، من لا يقدر على الكلام ، كالأخرس إذا طلق بالإشارة ، طلقت زوجته …
الموضع الثاني : إذا كتب الطلاق ، فإن نواه طلقت زوجته ، وبهذا قال الشعبي ، والنخعي والزهري والحكم وأبو حنيفة ومالك وهو المنصوص عن الشافعي “.
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskan: Talak tidak jatuh bila dengan selain lafal talak kecuali dalam dua kondisi:
Dicerai Lewat Surat, Meninggal Sebelum Putusan
Pertama, bila yang menjatuhkan talak tidak mampu bicara seperti orang yang bisu ketika ia mentalak dengan isyarat. Maka talaknya sah.
Kondisi kedua bila ia menulis kata talak. Jika itu diniatkan talak, maka talaknya sah.
Demikian pendapat asy-Sya’bi, an-Nakhai, az-Zuhri, al-Hakam, Abu Hanifah, Malik, dan juga riwayat dari Syafii.”
Kedua, bila secara syariah sah maka secara hukum positif yang berlaku di Indonesia tidak sah sebelum ada putusan cerai dari pengadilan.
Konsekuensinya, dalam kacamata syariah, isteri yang telah diceraikan tsb tidak mendapat waris. Namun tidak demikian dari perspektif hukum positif.
Karena itu, sebaiknya hal ini dicari jalan keluar terbaik agar tidak menimbulkan ekses atau dampak negatif bagi kedua pihak. Wallahu a’lam.[ind]