ChanelMuslim.com- Ada begitu banyak kasih yang tak sampai. Ia tertahan oleh jarak. Tertahan oleh keadaan. Tertahan oleh budaya. Dan tertahan oleh rasa kasih itu sendiri.
Hidup berkeluarga adalah bertemunya aneka kasih dalam satu wadah. Ada kasih orang tua kepada anak-anaknya. Ada kasih suami kepada istri, begitu pun sebaliknya. Dan ada kasih anak-anak kepada orang tuanya.
Kata kasih menunjukkan pemberian yang tanpa pamrih. Kasih keluar dari hati yang dalam, jernih, dan nyaris tanpa batas. Kasih kian terpuaskan ketika yang menerima merasa bahagia.
Meski yang menerima tidak bahagia pun, kasih akan terus mencari penyalurannya yang alami. Tersendat di sana, mengalir di tempat lain.
Ada Kasih Tak Sampai dari Anak-anak
Dunia besar suami istri adalah anak-anak mereka. Di situlah jembatan hati terjalin abadi. Karena tak ada yang bekas dari anak-anak ke ayah ibunya. Begitu pun sebaliknya. Jalinan itu akan terikat hingga akhirat.
Orang tua pernah menjadi anak-anak. Tapi anak-anak belum pernah menjadi orang tua. Hal ini mengharuskan orang tua jauh lebih paham tentang anak-anak, daripada anak-anak tentang orang tua mereka.
Anak-anak hanya memahami bahwa ayah ibu mereka adalah sosok multi fungsi. Sebagai pelindung, sebagai harapan, sebagai sahabat, sebagai guru, dan sebagai teladan.
Sebagai yang multi fungsi itu tidak mereka dapatkan dari buku-buku. Atau, mata pelajaran di sekolah. Hal itu karena pengalaman hidup mereka sejak dari awal. Itulah yang mereka lihat, dengar, dan rasakan setiap detik hidup mereka.
Dengan kata lain, anak-anak memahami sosok ayah ibu mereka persis seperti yang mereka alami selama hidup dengan ayah ibu.
Kalau anak-anak mencintai ayah ibunya, begitu pula cinta ayah ibu kepada mereka. Kalau anak-anak menghormati ayah ibunya, begitu pula penghormatan ayah ibu kepada mereka sebelum ini.
Jangan ditanya jika ada anak-anak yang begitu benci dengan ayah ibunya, karena boleh jadi, hal itu pula yang mereka alami dari ayah ibu itu sendiri.
Jadi, kesimpulan tentang cinta atau benci bukan semata-mata versi subjektif ayah ibu terhadap anak-anak. Bahwa, kerja keras mereka sebagai ungkapan cinta untuk anak-anak. Tapi, sosok tentang cinta itu harus disampaikan utuh kepada anak-anak.
Seperti, “Nak, ayah ibu meninggalkanmu setiap hari bukan karena nggak mau menemanimu. Tapi untuk mencari kebahagiaan kita bersama.”
Kalimat itu terlontar bukan sesekali dan berikutnya tidak pernah terdengar lagi. Tapi, harus terus diulang agar membekas dalam hati anak-anak bahwa perpisahan setiap hari itu juga kesedihan bagi ayah ibu.
Anak-anak lambat laun akan memahami itu. Terlebih ketika berada di rumah bersama mereka, ayah ibu memang membuktikan konsistensi cintanya: ungkapan sayang, perhatian yang utuh, dan kesabaran dengan segala kekurangan anak-anak.
Kalau anak-anak bisa mengolah kata-kata, mereka akan mengatakan, “Ayah ibu, bersabarlah dalam perjuangan untuk kami. Kami memahami kerja keras kalian untuk kami. Suatu saat, kami akan membalas kebaikan luar biasa itu.” [Mh]