ChanelMuslim.com- Menikah itu mudah. Yang berat merawatnya. Terlebih lagi dengan perjalanan yang penuh onak dan duri, jurang dan tanjakan.
Perjalanan rumah tangga itu tidak selalu landai. Tidak jarang, perjalanan yang dilalui begitu berat. Tantangan dan hambatan serasa tak pernah henti terjadi.
Namun begitu, ujian berat itu tidak mengendurkan gerak langkah sejumlah pasangan suami istri untuk terus maju. Di antaranya sosok-sosok berikut ini.
Meski profilnya disamarkan, nilai-nilai yang bisa dipetik dari kegigihan mereka bisa menjadi cermin untuk kita. Berikut ini di antara cuplikannya.
Ujian Sakit Suami
Badai yang menggoyang bahtera rumah tangga kadang datang dari arah yang tak terduga. Bukan dari luar kapal, tapi dari nakhoda itu sendiri.
Suami istri ini tidak sedang mengalami masalah kesetiaan hubungan. Tidak juga mengalami kasus perselingkuhan oleh suami atau istri. Tapi, serangan sakit struk suami yang datang tiba-tiba.
Dibilang tiba-tiba karena gejalanya hampir tidak ada. Musibah itu datang justru di saat suami istri itu sedang bahagia. Yaitu, anugerah Allah berupa harta warisan orang tua yang sudah diuangkan.
Saat itu juga, anugerah yang menyenangkan itu tiba-tiba menjadi hambar. Suami istri ini hanya mengisi kegiatan rutinitasnya untuk mondar-mandir ke rumah sakit dan apotek. Hal itu demi kesembuhannya.
Begitu pun dengan anak-anak. Lima anak mereka yang masih sekolah pun terpaksa mengurangi waktu belajar mereka demi untuk membantu ayah ibu mereka.
Umumnya penyakit struk, ia melumpuhkan sebagian fungsi fisik. Dari kepala hingga kaki. Sang suami yang sebelumnya berjalan begitu gagah, kini hanya bisa terbaring.
Jangankan bisa berkreasi dengan kerja, bicara pun tak lagi jelas. Kalau dikunjungi kerabat dan teman, ia hanya bisa menangis dan menangis. Seolah pengakuan seperti apa kondisi tubuhnya kini.
Musibah itu menjadikan sang istri memiliki tugas super ganda. Terutama untuk melayani dan sekaligus menemani suami. Melayani dalam arti yang sesungguhnya. Karena hampir semua fungsi otot fisik suami berhenti seketika.
Ia tidak bisa makan dengan tangan sendiri. Tidak bisa ke toilet dengan kaki sendiri. Bahkan tidak bisa bicara dengan mulut sendiri.
Satu tahun pun berlalu sejak musibah itu datang. Aktivitas tahun-tahun berikutnya seolah hanya pengulangan dari tahun sebelumnya.
Tanpa terasa, ujian berat itu sudah berjalan hampir dua puluh tahun. Memang ada perbaikan sedikit dari penyakit suami. Ia sudah bisa duduk untuk beberapa lama. Kadang bisa berdiri untuk waktu yang tidak boleh lama.
Waktu dua puluh tahun yang begitu lama hanya memberikan perbaikan yang tidak begitu banyak. Satu per satu anak-anak mereka menemui jodoh masing-masing, kemudian pergi untuk membangun rumah tangga baru.
Kecuali si bungsu yang tetap tinggal bersama ayah ibunya. Meskipun ia sudah memiliki keluarga baru. Syukurnya, suami si bungsu mau menerima kenyataan itu.
Tak lama setelah dua puluh tahun itu, Allah menyudahi perjuangan kesabaran sang suami. Ia pergi untuk selamanya.
Kepergian suami itu seolah seperti kumpulan lintasan kesan masa lalu yang akhirnya pergi begitu saja. Kesan tentang kebahagiaan masa lalu. Tentang penyakit yang mengubah segalanya. Tentang perjuangannya mengolah otak dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluarga.
Kini, ia tak lagi bisa membuat aneka kue seperti beberapa tahun lalu. Sebagian fisiknya sudah sakit-sakitan. Rumah yang ditinggali pun sudah tinggal seperlimanya karena ia juali untuk biaya pengobatan.
Namun, ia tetap bersyukur. Karena beban super berat itu ia tuntaskan dengan baik. Ia sukses menjadi istri setia untuk suami seperti apa pun keadaannya. Dan ia pun berhasil menjadi ibu yang mampu menjadikan putera-puteri mereka hidup mandiri. [Mh]