ChanelMuslim.com- Orang mengatakan, wanita itu senang melayani dan pria itu suka dilayani. Muncullah paradigma, wanita sangat patut melayani pria dan pria harus menuntut dilayani wanita. Benarkah seperti itu baiknya?
Paradigma melayani dan dilayani yang dianut sebagian orang akan membentuk pola komunikasi seperti apa yang muncul antara pria dan wanita. Khususnya dalam ruang rumah tangga. Antara suami dan isteri.
Pihak yang melayani akan membentuk pola-pola khusus berkomunikasi. Pola-pola itu bergulir terus-menerus dan akhirnya menjadi kelaziman. Sebagaimana yang melayani, begitu pula yang terbentuk dari pihak yang dilayani.
Mungkin sebagian kita akan menganggap biasa sebuah komunikasi yang lazim di beberapa daerah. Sebuah komunikasi biasa antara suami isteri di rumah tangga mereka.
“Dik, anakmu pipis di celana nih. Cepat! Nanti kotorannya kemana-mana,” ucap seorang suami yang sedang asyik membaca koran.
Ia mengucapkan itu karena minta istrinya untuk segera melayani dirinya atas ketidaknyamanan di sekitarnya. Padahal, yang pipis itu bukan hanya anak istrinya saja, melainkan juga anaknya.
Di sisi lain, istrinya yang dipanggil-panggil untuk segera melakukan tindakan sedang sibuk dengan tugas dapur misalnya. Sementara, ia hanya sedang sibuk membaca koran.
Kalau di banding berat ringannya antara kesibukan sang suami dan istri itu jelas jawabannya kesibukan istri. Karena ia sulit meninggalkan tugasnya di dapur. Kalau ditinggalkan, mungkin akan berakibat fatal.
Sementara, si suami hanya sibuk membaca koran. Kapan pun ia tinggalkan kesibukan itu, kapan pun ia teruskan lagi, tidak akan berdampak apa pun untuk keluarga, bahkan untuk dirinya kecuali hanya putus konsentrasi sejenak.
Namun hal yang terjadi adalah si istri tergopoh-gopoh meninggalkan dapur untuk mengurus kesibukan baru yang tidak sederhana itu. Di saat yang sama, sang suami seperti tak berada di lokasi itu. Jangankan melepas korannya, menoleh sejenak pun tidak. Kenapa?
Hal ini karena pola komunikasi itu sudah menjadi kelaziman. Berawal dari paradigma bahwa istri harus melayani dan suami patut dilayani. Sebuah pola komunikasi yang tidak muncul dari kesetaraan atau mitra dalam rumah tangga, melainkan seperti sebuah atasan dan bawahan.
Contoh lain adalah ketika pihak yang melayani membatasi diri untuk hanya peduli pada urusan melayani. Yaitu, pihak istri yang tidak mau tahu urusan suaminya: pekerjaannya, relasinya, nyaris semua dunia suaminya.
Ia tidak mau tahu apakah suaminya sedang berdaya atau tidak, yang ada di benaknya adalah tuntutan kompensasi atas pelayanan yang sudah diberikan. Mirip seperti serikat buruh yang menuntut kelayakan upah dari majikannya.
Pola komunikasi yang muncul adalah adanya dua sisi yang berseberangan, bukan berdampingan. Boleh jadi, hal ini sebagai ekses dari contoh yang pertama, yaitu adanya tuntutan pelayanan full dari pihak suami.
Bayangkan jika pada saat itu sang suami sedang mengalami gangguan penghasilan. Seperti, pemecatan, krisis bisnis, intrik perusahaan, dan lainnya. Lalu, bagaimana mungkin suami akan menyampaikan problemnya itu kepada istri yang harusnya menjadi mitra.
Betapa gersangnya komunikasi suami istri seperti itu jika berada dalam satu ruangan bernama keluarga. Yang satu merasa patut dilayani dan lainnya merasa harus melayani. Keduanya terkungkung dalam sisi yang berseberangan, lagi-lagi tidak sedang berdampingan.
Pertanyaannya, benarkah pola paradigma dilayani dan melayani ini berasal dari Islam? Yang berarti, ada ganjaran pahala dari pengamalan pola ini.
Jawabannya tentu tidak sesingkat di ruang seperti ini. Tapi, setidaknya, kita bisa menelisik secara sederhana soal tepat tidaknya merujukkan pola ini kepada bagian dari syariat Islam.
Jika merujuk pada firman Allah swt. bahwa pria adalah qowwam bagi wanita. Hal ini karena adanya keutamaan anugerah Allah kepada satu pihak dan tidak pada pihak yang lain. Yaitu, kelebihan fisik dan nalar pria serta kelembutan rasa pada wanita.
Kata qowwam tidaklah menurunkan kesimpulan dilayani dan melayani. Melainkan, kebersamaan dalam satu arah gerakan. Dan pihak suami berada pada posisi depan, sementara istri mengikutinya. Keduanya terikat dalam hubungan saling membantu, melengkapi, dan mengingatkan.
Posisi depan menunjukkan bahwa suami sebagai pengarah bukan pengikut, sebagai pelindung, penanggung jawab, dan seterusnya. Dan ini sesuai dengan modal yang sudah Allah berikan pada diri suami.
Posisi pengikut menunjukkan bahwa istri melengkapi hal-hal lain yang tidak mungkin bisa dilakukan suami sekaligus. Seperti sebagai penyejuk, penguat, dan lainnya. Dan hal ini sesuai dengan modal yang Allah anugerahkan kepada istri dengan dominasi rasa yang begitu kuat.
Namun, tidak berarti bahwa suami merasa patut dilayani untuk segala hal, dan istri wajib melayani di semua hal.
Perhatikanlah bagaimana teladan dari Nabi mulia saw. Beliau saw. pernah tidur di luar rumah lantaran Aisyah tertidur saat Nabi pulang. Tidak ada kejadian lanjutan berupa omelan dari pihak suami karena pelayanannya terganggu.
Nabi saw. pernah membungkukkan tubuhnya agar sebagian tubuhnya bisa dijadikan injakan istrinya untuk menaiki kendaraan tunggangan yang tinggi. Sebuah bentuk pelayanan yang luar biasa dari seorang suami, walaupun harus dengan mengorbankan tubuhnya untuk diinjak.
Nabi saw. biasa sharing problem dengan istri-istrinya. Boleh jadi, dari para istri-istri beliau ini ada solusi yang tidak terpikirkan oleh Nabi saw. Seperti yang diusulkan Ummu Salamah kepada Nabi dalam hal mencontohkan sebuah amal kepada para sahabat yang kebingungan untuk melakukan apa.
Masih banyak contoh lain dari bentuk kemitraan rumah tangga Nabi saw. bersama istri-istrinya. Hasilnya, hampir semua istri Nabi saw. menjadi sosok rujukan sepeninggal Nabi, terhadap para muslimah maupun para sahabat nabi.
Boleh jadi, paradigma melayani dan dilayani secara mutlak ini bukan berasal dari budaya Islam, apalagi syariatnya. Melainkan dari budaya para raja, baik dalam lingkungan umat Islam maupun yang lain.
Yang mestinya tertanam dari paradigma komunikasi suami istri bahagia adalah bukan melayani dan dilayani. Tapi, bersemangat untuk saling memberi. (Mh/bersambung)