ChanelMuslim.com- Nalar dan rasa memang memiliki perbedaan yang jauh. Nalar butuh fakta, sementara rasa butuh kecocokan. Namun, tidak ada yang unggul dan rendah dalam dua hal ini. Ibarat dua sayap burung, keduanya saling melengkapi agar bisa terbang tinggi.
Pemahaman tentang ini sangat perlu untuk pasangan baru suami istri. Boleh jadi, dua sisi yang selama ini terpisah jauh, tiba-tiba kini selalu seiring sejalan. Komunikasi yang selama ini nyaris tak pernah terjalin, tiba-tiba muncul seperti saudara kembar.
Bersama dalam perbedaan inilah yang kerap bisa memunculkan salah tafsir. Jika tidak ditakar dalam ukuran yang proporsional, perbedaan bisa memunculkan jarak. Bahkan bisa kesalahpahaman.
Komunikasi dengan Nalar
Pria punya kecenderungan menggunakan nalar dalam berkomunikasi. Rangsangan-rangsangan dari lawan bicara kerap diolah secara otomatis melalui nalar.
Nalar berproses berdasarkan alur logika yang sederhana. Satu tambah satu, selalu menjadi dua. Tiga kurang satu, selalu menjadi dua. Tidak pernah lebih, tak pernah kurang.
Nalar juga membutuhkan fakta atau bukti. Ada hal-hal yang harus terlihat, nyata, baru kemudian muncul penilaian. Hasilnya sangat mengikuti fakta-fakta atau bukti itu. Kesimpulan terlebih lagi pada tingkat keputusan, tidak akan muncul sebelum rangkaian fakta itu tersusun lengkap membentuk informasi yang utuh.
Proses bergulirnya nalar menjadi informasi ini butuh waktu. Secepat apa pun gulirannya, tetap dibutuhkan waktu proses. Tidak bisa spontan seperti main tebak-tebakan.
Karena itu, jangan heran jika pria cenderung bicara agak lamban di banding wanita. Bahkan untuk sebuah pengambilan kesimpulan apalagi keputusan butuh waktu yang agak lama. Dan proses penantian ini biasanya diisi dengan diamnya laki-laki.
Dalam keadaan tertentu, pria biasanya butuh menyendiri. Nalarnya berkerja keras mengurutkan semua fakta untuk diolah secara hati-hati menjadi informasi dan keputusan. Selama proses itu, ia tidak ingin ada gangguan. Walaupun gangguan itu dianggap pihak wanita sebagai wujud pelayanan.
Pada titik inilah kadang-kadang muncul kesalahpahaman. Wanita menilai pria lamban memberikan respon. Pria tampak seperti acuh, egois, dan kurang memahami diri wanita.
Jika kesalahpahaman ini menjadi vonis, maka pria akan tertimpa beban baru yang sebetulnya tidak perlu ia dapatkan. Yaitu, serangan negatif yang bertubi-tubi. Selama proses nalar ini belum menemukan titik temu, selama itu pula stigma atau cap negatif terus ia terima.
“Mas kan suami, jangan diam aja dong! Cepat kasih solusi,” begitu kira-kira di antara bentuk “teror” yang mungkin muncul dalam suasana “tenang” itu.
Pada titik ini, jika pria tidak konsisten dengan jatidirinya yang berpegang pada nalar, kecenderungan memberikan respon di luar dugaan bisa muncul. Nalarnya tiba-tiba kusut, dan ia pun hanyut dalam arus rasa yang mempropokasinya untuk muncul.
“Kamu ini bawel amat sih. Nggak lihat apa kalau aku lagi mikir,” seperti itu kira-kira respon nalar kusut pria yang terbawa arus rasa di sekitarnya.
Kalau sudah seperti itu, nalar yang semula berproses otomatis untuk memunculkan respon positif, tidak lagi berkerja normal. Muncullah reaksi rasa dalam bentuk emosi. Hasilnya, nol bahkan bisa negatif.
Jadi, berikan kesempatan pria untuk tenang dalam dunia nalarnya. Jangan diganggu walaupun dengan maksud memberikan pelayanan. Kalau hasilnya buntu, berikan ia kesempatan berikutnya untuk berpikir jernih.
Namun, hal ini biasanya jarang terjadi. Wanita umumnya menginginkan proses cepat. Tidak boleh ada jeda. Apalagi menunggu untuk waktu yang belum pasti.
Komunikasi dengan Rasa
Rasa sangat dominan dimiliki wanita. Ia merespon sesuatu bukan dengan nalar seperti halnya pria, tapi dengan rangsangan rasa. Dan rasa berkerja lebih cepat daripada nalar.
Rasa tidak membutuhkan fakta. Yang penting, cukup untuk membentuk suasana. Rasa tidak seperti halnya nalar yang butuh kelengkapan sentuhan banyak indera, cukup dengan satu sentuhan indera pun sudah seperti sempurna.
Contoh, tidak sedikit gadis yang terpedaya hanya olahan penampakan melalui facebook misalnya. Tidak perlu pendengaran, tidak perlu sentuhan, tidak perlu pertemuan, sang gadis sudah seperti bagian dari diri sang pria idaman facebooknya.
Contoh lain, seorang anak kadang mencerna baik kelemahan ibunya. Jika ia ingin dapat sesuatu dari orang tuanya, ia olah rasa sedemikian rupa agar cocok dengan rasa ibunya. Bisa dengan cara merayu, menangis, mengiba, dan seterusnya. Dan hal itu sulit ia lakukan terhadap ayahnya.
Namun jangan salah. Kecenderungan rasa yang begitu dominan dimiliki wanita bukan bentuk kelemahannya. Justru inilah keunggulannya. Dan rasa sangat identik dengan wanita.
Pria mana pun akan terperangah dengan respon wanita saat dibebani begitu banyak beban oleh anaknya. Wanita memunculkan respon sangat positif dengan kemunculan bayi di perutnya. Padahal, konsekuensinya begitu berat: ada beban tambahan sekian kilogram dalam perutnya, beban melahirkan yang taruhannya hidup mati, dan seterusnya.
Fase berikutnya dalam beban ini, wanita tidak pernah marah dengan seribu satu gangguan bayinya. Ia begitu senang, ikhlas, dan sangat bahagia. Seberat apa pun, beban yang ia terima dalam kurun waktu yang tidak sebentar ini.
Semua respon rasa wanita dalam sisi itu, nyaris tidak akan bisa terwujud jika diolah secara nalar. Tidak heran jika banyak pria di negeri barat sana, lebih suka memelihara anjing daripada menjadi seorang ayah untuk anak-anaknya.
Alasan menurutnya, anjing lebih gampang dipelihara, dan kalau sudah besar jauh lebih setia daripada anak manusia. Inilah salah satu bentuk olahan nalar yang tidak disanding dengan sentuhan rasa wanita.
Nalar dan rasa, Allah ciptakan menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan. Ia harus berpasangan. Saling melengkapi, bukan meniadakan. (Mh/bersambung)