ChanelMuslim.com- Angka perceraian di tanah air selalu menunjukkan angka kenaikan. Menariknya, 74 persen terjadi karena gugatan istri.
Data statistis Indonesia bercerita tentang angka perceraian. Dari kurun waktu empat tahun sejak 2017 hingga 2021, angka perceraian naik di atas lima puluh persen dari tahun sebelumnya.
Seperti di tahun 2021, terjadi 447.743 kasus perceraian. Angka ini naik 53,50 persen dari tahun sebelumnya.
Tiga provinsi bertengger di tiga besar dalam angka perceraian di Indonesia. Yaitu, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Sebabnya macam-macam. Di urutan pertama karena pertengkaran tak berkesudahan antara suami istri. Bisa karena adanya pihak ketiga, ekonomi, dan lainnya. Secara khusus perceraian karena faktor ekonomi berada di urutan berikutnya, kemudian menyusul kasus KDRT.
Dari data ini, ada hal menarik yang patut disimak. Sebanyak 74 persen perceraian terjadi karena gugatan pihak istri. Sisanya karena talak dari pihak suami.
Angka 74 ini merupakan penambahan dari tahun sebelumnya sebesar 68 persen. Dengan kata lain, trend kenaikan perceraian karena gugatan dari istri meningkat dari tahun ke tahun.
Kenapa? Jika perceraian datang dari pihak istri, kemungkinannya ada tiga. Urutan pertama karena ada wanita lain (resmi maupun tidak resmi), kedua karena ekonomi, dan ketiga karena suami tidak tanggung jawab dan KDRT.
Dari sudut pandang lain, fenomena ini menunjukkan bahwa para istri di Indonesia boleh jadi merupakan pihak yang merasa banyak dikorbankan. Hal itulah yang menjadikan gugatan istri sebagai keputusan akhir perceraian lebih dominan dari talak suami.
Umumnya di Indonesia, istri memiliki peran ganda. Tak sedikit para istri yang juga ikut mencari nafkah. Sementara, tanggung jawab rumah tangga juga terbebankan di pundak istri.
Hal ini berbeda dengan sejumlah negara muslim seperti di Arab dan Pakistan misalnya. Hampir seratus persen perkantoran di sana diisi kaum pria.
Bahkan, pasar-pasar tradisional di sana, umumnya banyak dikunjungi kaum pria. Baik yang berposisi sebagai pembeli maupun pedagang. Begitu pun dalam hal memasak, biasanya lebih banyak peran pria daripada wanita.
Dengan kata lain, umumnya wanita di negeri-negeri muslim itu begitu dimuliakan dan “dimanjakan”. Sehingga mereka tak begitu merasa perlu untuk minta cerai.
Bahkan ketika dipoligami pun, para istri di sana tidak merasa perlu untuk melakukan gugat cerai. Tidak heran jika di sana poligami menjadi hal yang lumrah.
Bayangkan dengan umumnya masyarakat Indonesia yang para istrinya harus ikut mencari nafkah, mengurus rumah tangga, memasak, belanja ke pasar dan lainnya. Tentu saja, poligami merupakan hal yang sangat menyakitkan.
Angka-angka di atas, tidak selalu menunjukkan bahwa para istri yang bermasalah karena sebagai inisiator perceraian. Boleh jadi, karena hak-hak para istri yang belum tertunaikan dengan baik.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati kita semua. “Sebaik-baik kalian adalah yang senantiasa berbuat baik kepada keluarganya (istri, red). Dan aku adalah yang paling baik untuk keluargaku.” (HR. Tirmidzi)